[ Arc ] : Kebenaran

529 79 5
                                    

Ini seperti mimpi buruk terburuk. Banyak darah tak berdosa yang menggenangi Ebetopia. Para vampir menyerang Kerajaan Delirium di bawah pimpinan Raja Drangar IV. Entah apa alasannya. Seingatku seharusnya mereka sudah mengikat kontrak perdamaian dengan kerajaan kami.

Para tentara kerajaan balas memberikan serangan dengan tergopoh - gopoh tanpa persiapan. Tapi setidaknya latihan yang selama ini mereka jalani agak sedikit membantu.

Para penyihir ikut andil dalam perang itu. Sebisa mungkin mereka melawan para vampir dengan sihir mereka. Teman - temanku sudah menyebar sejak perang ini dimulai. Aku pun begitu. Sebisa mungkin aku bertarung.

SLASH!

Sial. Cairan merah kental itu membuat kakiku gemetaran. Entah sudah yang keberapa kali aku menghilangkan nyawa seseorang. Aku begitu tersiksa ketika terpaksa melakukannya.

"Ana!"

Aku berbalik. Tatapan lelahku menatapnya datar. Mencoba menyembunyikan penderitaan yang sedang kurasakan.

"Tolong! Lindungi Hani!" pintanya serius. Digandengnya seorang perempuan bergaun mewah yang sudah terkotori oleh darah.

Aku membelalak. Perempuan yang bernama Hani itu sudah terluka cukup parah. Dari mulutnya darah keluar tak henti - hentinya. Aku menunduk dalam.

"Kenapa? Apa kau tidak bisa melakukannya?" tuduh sang raja.

"Uhuk!" Hani terbatuk dan darah keluar lebih banyak dari mulutnya.

"Hani, bertahanlah!" seru sang raja panik.

Ah, aku mengerti. Hani adalah sang Cinderella.

"Ana! Apa kau dengar aku!?" bentak sang raja.

Aku menengadah. Lalu jantungku terasa berhenti berdetak begitu melihat Hani yang sudah menutup kelopak matanya rapat. Tangannya menjuntai lemah. Sama seperti orang lemah lainnya, dia mati.

"Hani! Hani! Kumohon sadarlah!" seru raja panik. Ia segera memeriksa denyut nadi milik Hani.

"Tidak..tidak.., ini tidak boleh terjadi!"

Tanpa pikir panjang sang raja langsung memberikan nafas buatan kepada Hani. Berharap Hani dapat membuka matanya kembali. Namun usahanya itu sia - sia. Hani telah pergi.

Sang raja mulai terisak. Air matanya bercucuran ke tanah.

Dan tanpa sadar, ternyata air mataku telah lebih dulu bercucuran. Bersamaan dengan rasa pedih yang kurasakan di rongga hati. Aku sungguh bodoh.

"Kau! Semua ini gara - gara kau!" bentak raja nanar. Telunjuknya ia arahkan kepadaku.

"Aku?" ulangku memastikan.

"Jika saja kau mau menolongnya pasti dia masih hidup! Tapi kau dengan jahatnya membiarkan dia mati kehabisan darah!" bentaknya.

"Aku tidak bermaksud begitu! Lagipula saat kau membawanya kemari dia sudah kehilangan banyak darah!" balasku dengan bentakan yang tidak kalah keras.

"Alasan!!" timpal raja nanar.

"Kau seharusnya bisa melindunginya dengan tanganmu sendiri! Kau tidak berhak menyalahkanku atas kematiannya!!" ujarku mantap.

Sang raja terdiam. Ia mengacak - acak rambutnya sendiri seperti orang yang sedang dilanda frustasi.

"Lagipula..."

Sang raja menatapku perlahan.

"Kenapa kau membentakku? Sebenci itukah kamu kepadaku, yang mulia?" ucapku lirih. Air mataku terus bercucuran bahkan lebih deras dari sebelumnya.

MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang