Angel dan Zidane pergi menuju kelas mereka pagi ini. Kali ini tanpa Tania, karena Tania sedang sakit. Selain itu, Tania juga tidak mendapat kelas pagi. Ah, beruntung sekali anak itu!
"Zidane, lo yakin Tania baik-baik aja?" tanya Angel. Terlihat jelas bahwa dia sangat khawatir.
"Ya, Angel. Dan lo udah nanya ini berkali-kali daritadi. Lo ga capek nanya terus? Bisa-bisa Tania bersin-bersin tuh gara-gara lo nanyain dia terus."
Wajah Angel cemberut mendengar jawaban Zidane. "Ya wajar dong. Kan gue care sama sahabat gue," sahut Angel membela dirinya.
"Iyain aja."
Zidane melirik Angel yang sepertinya benar-benar tidak memiliki semangat hidup tanpa Tania di sampingnya.
Biasanya, jika mereka bertiga sedang berada di tempat yang sama, dua gadis itu akan sibuk berceloteh. Membicarakan si A, si B, dan lebih parahnya lagi membicarakan Zidane yang jelas-jelas ada di samping mereka.
Nah, jika sudah seperti itu, Zidane lebih memilih untuk berpura-pura tidak dengan apa yang mereka bicarakan. Kadang Zidane hanya bisa menghela nafasnya lelah. Zidane juga manusia!
"Ngapain sih galau gitu? Kan ada gue, lo gausah galau gitu dong." Hening. Karena tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Angel.
Zidane menghentikan langkahnya, membuat langkah Angel juga terhenti. "Yaudah, kita bolos kelas terus temenin Tania aja di rumah. Mau ga?" tawar Zidane.
Angel menatap Zidane cepat. "Gaboleh. Kita tuh udah di semester dua, masih jaman bolos-bolos? Lagian kalau masih bisa masuk kelas, kenapa harus bolos? Lo mau beasiswa lo dicabut?"
Zidane menepuk jidatnya pasrah. "Astaga, salah mulu gue," gumamnya tapi terdengar jelas oleh Angel.
Angel mengatakan, "Ya, kan emang, lo selalu salah. Zidane selalu salah!"
"Sebahagia lo aja lah. Di dunia ini kan memang cowok selalu salah, kapan pernah bener sih?" Zidane menggandeng tangan Angel, membawanya kembali ke kelas sebelum dosen datang.
Bel sudah berbunyi. Tidak terasa, waktu cepat berlalu, kelas dibubarkan. "Kalian boleh meninggalkan kelas, kecuali Angel dan Zidane temui saya di kantor."
Murid-murid buru-buru meninggalkan kelas, sedangkan Angel dan Zidane pergi menemui gurunya seperti permintaan gurunya.
Angel sedaritadi terus berceloteh. Bertanya-tanya kenapa mereka berdua dipanggil. Membuat Zidane yang ada di sebelahnya melirik Angel sedikit kesal.
"Lo kenapa daridulu bawelnya gapernah berubah-berubah?"
"Dari lahir gini. Tanya mama coba kenapa." Zidane tertawa pelan.
Zidane mengetuk pintunya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangan, disusul Angel di belakangnya. "Ada apa, Sir?"
"Duduk dulu. Jangan terlalu tegang." Zidane dan Angel duduk di kursi yang sudah disediakan.
Tanpa basa-basi, dosen menyodorkan selembar kertas yang berisi tentang perlombaan. "Ikutlah perlombaan ini. Saya yakin kalian bisa melakukannya. Ya, itu pun jika seandainya kalian tidak keberatan."
Zidane dan Angel menerima selembaran itu. "Tidak perlu memberikan jawaban sekarang. Kalian masih punya waktu. Kabari saya, jika kalian menyetujuinya. Kalian boleh pergi." Zidane dan Angel pamit dan meninggalkan ruangan.
"Ikut ga ya? Tapi takut ketinggalan tugas dan penjelasan lagi," gumam Angel sambil terus menatap selembaran di tangannya.
"Nanti kita pikirkan, Angel. Kita pulang aja sekarang supaya lo bisa liat kondisi soulmate lo itu. Kalau ga gitu lo bakal bawel banget."
"Kayak lo aja ga bawel. Daritadi lo juga kan ngoceh," protes Angel tidak terima. Zidane tidak menjawab, hanya tertawa pelan, lalu menarik tangan Angel masuk ke dalam mobil. Menyetir kembali ke rumah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Boy #2 : Stay With Me
Teen Fiction"Gimana caranya gue bisa bahagia sedangkan lo ga sama gue? Padahal bahagianya gue itu ada sama lo." My Coldest Boy Series: Stay With Me ps. [c o m p l e t e d]