"VEENA LO SEMBUHNYA KAPAN SIH?" Zidane mulai geram. Karena sudah 3 hari ini dia terus membantu Veena, sampai-sampai dia tidak bisa jalan-jalan dengan Angel atau bahkan Alexi dan Tania.
Zidane melakukannya hanya karena ingin bertanggung jawab. Ya, meskipun dia tidak salah, tapi gadis itu terus mengatakan bahwa dia yang salah. Jadi mau tak mau, Zidane harus bertanggung jawab sampai Veena sembuh.
"Santai dong. Galak banget sih."
"Lo-nya tuh ga sembuh-sembuh. Gue manusia juga, bisa capek," protes Zidane.
"Yaudah gausah bantuin."
"Yaudah, oke." Zidane melepas pegangannya membuat Veena akan benar-benar terjatuh jika Zidane tak langsung menangkapnya.
Veena menatap Zidane lama. Rahang tegas Zidane mengalihkan dunianya. Ditambah tatapan tajam mata Zidane yang menarik perhatiannya. "Jangan liatin gue terus, gue udah punya pacar."
Zidane membantu Veena kembali berdiri. "Siapa juga liatin kamu? Percaya diri banget?"
"Halah, gausah ngelak. Gue bisa liat kok lo liatin gue terus tadi."
"Ih, dibilangin gaada."
"Bohong, dosa loh."
"Terserah. Aku mau masuk."
"Ya, masuk aja sana. Ngapain lapor-lapor?"
"Astaga. Zidane, tolong bantu aku masuk ke dalam ya? Puas?"
"Oke."
Zidane kembali membantu Veena berjalan masuk ke kamarnya. Sekarang Veena senang berpura-pura kakinya keseleo. Dengan begitu dia bisa selalu dekat dengan Zidane.
Sepertinya sekarang, bukan Veena yang membuat Zidane menyukainya, tapi Zidane yang membuat Veena menyukainya. Setelah Zidane pergi, Veena mengatur detak jantungnya.
Aduh, jantung, tenang dong. Jangan beraksi berlebihan, batin Veena.
"Lo kenapa?"
"Hah? Gapapa kok. Cie khawatir."
"Bukan khawatir. Takut lo serangan jantung, terus lo langsung pergi gitu aja."
"Maksud kamu apa? Aku meninggal? Dasar jahat!"
"Itu kan lo yang bilang, bukan gue. Udah ah, gue sibuk."
"Iya, sibuk. Sibuk pacaran," sindir Veena.
"Sewot banget. Makanya cari pacar sana biar bisa sibuk pacaran juga."
"Aku maunya pacaran sama kamu, gimana dong?"
"Tapi gue maunya sama Angel bukan sama lo. Gausah ngarep ketinggian. Tidur aja sana." Zidane menghilang dari pandangan Veena dalam hitungan detik.
"Argh! Nyebelin! Untung ganteng." Veena memutuskan untuk tidur.
Zidane mencari Angel, tapi tidak ada Angel di mana-mana. Lalu, Zidane melihat ke halaman belakang. Zidane duduk tepat di samping Angel.
"Mikirin apa sih?"
"Mikirin lo."
"Pasti gue gapernah hilang dari pikiran lo sedetik aja ya?"
"Yee percaya diri banget. Setiap hari lo hilang dari pikiran gue. Barusan aja gue mikirin lo."
"Halah, bohong banget."
"Yaudah kalau ga percaya."
"Iya, iya. Tapi tumben lo sendiri? Alexi sama Tania mana?"
"Mereka berdua jalan lagi. Lo gatau apa selama di sini, mereka berdua jalan-jalan terus. Cuma gue aja yang di rumah."
"Kenapa lo ga ikut jalan-jalan?"
"Karena gue maunya jalan sama lo juga, bukan cuma mereka."
"Yaudah, tenang. Besok kita jalan-jalan. Gue bawa lo ke pantai. Mau ga?"
"Mau sih. Tapi emang lo bisa pergi? Sementara Veena manggil-manggil lo terus."
"Itu gampang, bisa diatur. Nah, jadi nanti kalau Alexi sama Tania udah pulang, lo kasitau ke mereka ya besok kita ke pantai." Angel mengangguk.
"Zidane," panggil Theresa.
"Gue masuk dulu. Mama panggil." Angel mengangguk.
Angel menghela nafasnya. "Pergi lagi, baru juga ngobrol sebentar," gumam Angel.
"Kenapa, Ma?" tanya Zidane sesampainya di belakang.
"Itu sih Veena gimana kondisinya?"
"Gatau, Ma, Zidane capek. Masa udah 3 hari ini, belum ada kemajuan. Ada sih, tapi dikit banget," sahut Zidane.
"Yaudah karena dia belum bisa pergi dari rumah, kita ajak dia jalan-jalan aja. Besok mama rencananya ngajak kalian semua pergi ke pantai."
"Wah samaan dong. Tadi Zidane juga rencananya gitu. Pergi sama Angel, Tania, sama Alexi."
"Berarti besok perginya barengan aja. Mau ngadain ulang tahun Caith. Pasti kamu lupa kan?" Zidane cengengesan.
"Oke, Ma. Veena diapain?"
"Ya diajak lah. Masa ditinggalin?"
"Kalau dia ikut mana bisa Zidane menikmati perjalanan," gerutu Zidane.
"Kamu kan harus tanggung jawab. Salah sendiri ga hati-hati."
"Dibilangin bukan salah Zidane juga."
"Iya, mama tau, tapi menurut dia kan kamu yang salah, jadi kamu harus tanggung jawab dong."
"Iya, iya. Caith mana?"
"Ada di kamar, lagi tidur."
"Yahh tidur ya? Oke deh."
Baru saja Zidane ingin kembali mendatangi Angel di halaman belakang tadi, tapi tiba-tiba dia dipanggil oleh Andrew.
"Kenapa, Pa?" tanya Zidane.
"Papa punya masalah di perusahaan. Kamu bisa bantu papa? Yah, meskipun kamu lebih ada di bidang musik bukan bisnis, tapi mungkin kamu bisa bantuin?"
"Bisa sih. Tapi papa perlu jelasin beberapa hal dulu, takut Zidane ga paham."
"Iya, nanti papa jelasin. Besok kita pergi."
"Gabisa besok, Pa. Caith kan ulang tahun, terus mama ajak kita ke pantai katanya."
"Yaudah, kita ganti tanggal dan waktunya. Yang penting kamu bisa bantuin kan?" Zidane mengangguk. Setelah itu, Zidane memutuskan untuk keluar dari ruangan Andrew dan pergi ke halaman belakang, tapi Angel sudah tidak ada di sana.
Zidane mencari-cari Angel, ternyata dia sedang ada di dapur, bersama mamanya. Zidane menatap keduanya dengan senyuman. Angel terlihat begitu nyaman dengan Theresa yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri, begitu juga dengan Theresa.
Melihat mereka berdua sedang sibuk, Zidane memutuskan untuk tidak mengganggunya dan memilih untuk masuk ke kamar Caithlyn dan mengajaknya main.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Boy #2 : Stay With Me
Teen Fiction"Gimana caranya gue bisa bahagia sedangkan lo ga sama gue? Padahal bahagianya gue itu ada sama lo." My Coldest Boy Series: Stay With Me ps. [c o m p l e t e d]