Langit yang tadinya terseyum cerah kini berganti muram. Padahal jam masih menujukkan pukul 13.00, tetapi suasana di cafeteria ini sudah mulai gelap saja. Perlahan suara gemercik air menggema di dalam ruangan ini. Aroma khas tanah yang terkena air hujan juga berhasil masuk melalui pintu depan yang memang dibiarkan terbuka.
Lalisa sedang menunggu seseorang yang memintanya untuk bertemu di cafeteria ini. Dharmaga Aditama. Beberapa menit yang lalu ia mengirimkan pesan kepada Lalisa agar menunggunya disini. Lalisa ingin menolak. Tetapi, dengan liciknya Dharmaga kembali mengungkit kesalahan Lalisa yang telah membuat sikunya terluka kemarin, dan jangan lupakan bagaimana pertemuan mereka untuk pertama kalinya. Mau tak mau, Lalisa meng-iya kan ajakan Dharmaga karena rasa bersalahnya.
"Lama banget sih tuh orang. Kalo bukan karena gue punya rasa bersalah sama dia, udah gue botakin kepalanya dari awal ketemu." Tanpa ia sadari, kini seseorang yang sedang ditunggunya sudah berdiri tepat dibelakangnya sambil bersedekap dada.
"Jadi kapan?" tanya Dharmaga membuat Lalisa terperanjat dari tempat duduknya.
"Astaga?!" seru Lalisa kaget.
"S-sejak kapan Kakak sampe?"
"Gue tanya kok malah balik nanya?" Dharmaga mengitari tempat duduk Lalisa kemudian duduk di bangku yang memang sudah ditata berhadap-hadapan.
"Jadi kapan? Katanya lo mau botakin kepala gue?" Ucap Dharmaga menyindir.
"Eh, itu saya...." Lalisa tidak tahu harus beralasan apa untuk menyanggah ucapannya barusan.
"Aduh. Maaf kak, saya buat salah mulu deh kayaknya sama Kakak." Ia lebih memilih untuk menyerah, dan meminta maaf. Karena sepertinya Lalisa memang selalu salah dimata Dharmaga. Itu pemikirannya.
"Emang." Jawab Dharmaga sambil memutar kedua matanya jengah. Lalisa hanya bisa menundukkan kepalanya sambil merutuki kebodohannya yang berucap seenaknya.
"Kalo boleh tahu, kakak ngapain ya nyuruh saya nungguin kakak disini?" tanya Lalisa berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Lo kan anak baru nih, rasanya ospek kemarin belum cukup deh buat lo." Jawab Dharmaga yang membuat Lalisa bingung.
"Maksudnya?"
"Rasa-rasanya, lo harus diajarin buat gak ngomongin orang dibelakang. Apalagi senior lo sendiri."
"Lo harus gue ospek lagi." Ujar Dharmaga seenaknya membuat keputusan. Sebenarnya ini bukanlah alasan Dharmaga untuk menemui Lalisa. Ia bahkan sama sekali tak memiliki alasan dari awal. Tetapi ia bersyukur dengan tingkah Lalisa yang bisa dijadikannya alasan.
"Tapi kan kegiatan ospek udah selesai, Kak. Bahkan udah dari beberapa minggu lalu." Lalisa merasa tidak terima. Siapa yang akan terima jika disuruh untuk mengikuti kegiatan ospek dua kali? Satu kali saja sudah membuatnya kelelahan.
"Tenang aja. Ospek yang bakalan gue kasih ke elo beda dari yang lain."
"Cukup selalu ada disaat gue butuhin lo." Ucapnya menatap lurus mata Lalisa.
"Dan sekarang, gue pikir gue lagi butuhin lo." Ujarnya lagi.
"Hah?" l
agi-lagi Lalisa dibuat bingung oleh kata-kata yang keluar dari mulut Dharmaga."Hujannya udah mulai reda nih. Temenin gue ke mall yuk. Gue lagi pengen jalan-jalan. Inget, ini ospek lo yang kedua kali karena lo udah ngomongin gue dibelakang. Jadi lo gak boleh nolak. Ayo!" Dharmaga berdiri kemudian menarik tangan Lalisa agar mengikutinya.
"Hari ini gue bawa motor. Udara setelah hujan itu dingin. Jadi, dari pada nanti lo kedinginan dijalan. Mending lo pake jaket punya gue." Dharmaga melepas jaketnya, kemudian memberikannya kepada Lalisa. Lalisa yang melihat hal itu malah justru bengong. Astaga nih bocah, pikir Dharmaga kesal.
"Ck. Lama deh." Dharmaga berdecak sebal, kemudian memakaikan jaketnya ketubuh Lalisa.
"Udah. Ayok naik." Kemudian motor Dharmaga meninggalkan area parkir cafetaria tadi, membawa dua insan yang belum lama kenal ini menuju salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Bandung.
Selama diperjalan hanya ada suara deru mesin kendaraan yang berlalu lalang. Aroma aspal yang dibasahi hujan juga semakin terasa di indera penciuman. Kicauan burung yang berterbangan diatas sana bahkan terdengar saling bersaut-sautan. Namun, kedua makhluk Tuhan ini tak ada yang membuka mulutnya untuk berbicara.
Lalisa yang tidak suka dengan suasana canggung seperti ini, kemudian memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
"Kak!" seru Lalisa setelah meyakinkan tekad untuk memanggil Dharmaga. Namun, sepertinya Dharmaga tidak mendengar seruannya.
"KAK!" serunya lebih keras. Berharap Dharmaga mendengar seruannya kali ini.
"Kenapa?" jawab Dharmaga sambil menoleh ke belakang.
"Kok Kakak tiba-tiba ngajakin saya pergi ke mall sih?" tanya Lalisa.
"Bukannya gue udah bilang ya, kalo lo harus di ospek ulang sama gue." Jawab Dharmaga.
"Emang ada ya ospek kayak gini?" tanya Lalisa lagi.
"Ada lah. Buktinya ini. Gue lagi nge-ospek lo."
"Oh, ya. Satu lagi. Bisa gak, lo gak usah pake bahasa formal kaya gitu ke gue. Cukup lo-gue aja. Gak usah pake saya-sayaan, tapi kalo ditambah 'ng' sih nggakpapa." Ucap Dharmaga sambil melihat pantaulan wajah Lalisa melalui kaca spion. Cantik, gumannya sambil terseyum.
"Sayang?" tanya Lalisa dengan kening berkerut.
"Iya. Kenapa sayang?" jawab Dharmaga sambil menoleh kebelakang. Terlihat jelas wajah Lalisa yang sudah kesal karena mendengar lelucon Dharmaga barusan. Dharmaga malah cekikikan nggak jelas.
"Nyebelin." Dengus Lalisa. Bukannya meminta maaf, Dharmaga malah menambah kecepatan motornya, sehingga dengan gerakan spontan Lalisa langsung memeluknya.
"Aaaaaaa...." Teriak Lalisa dengan melingkarkan tangannya diperut Dharmaga. Oh, jangan lupakan kepalanya yang sudah berhasil mendarat di punggung Dharmaga. Dharmaga terseyum senang karena berhasil mengerjai Lalisa, terlihat jelas raut ketakutan di wajah Lalisa barusan. Kane juga boncengin dia pake motor. Guenya bisa sekalian modus. Ia terseyum licik di dalam hati.
"Ih, sumpah ya. Lo nyebelin banget kak!" Teriak Lalisa sambil menyubit perut Dharmaga.
"Arhggg...." Kini Dharmaga yang berteriak kesakitan.
"Sakit, Lis."
"Siapa suruh nyebelin." Balas Lalisa jengkel.
-by your side-
KAMU SEDANG MEMBACA
By Your Side
General Fiction[Completed] Mencintainya, aku ingin selalu. Namun bersamanya selalu, aku tak pernah tahu. Dicintainya, merupakan aku. Mencintainya, adalah diriku. Terus berada di sampingnya, itulah mimpiku. Dan kewajibanku adalah berusaha untuk mewujudkan itu. Jik...