30; "sompret"

288 50 1
                                    

Pukul tujuh malam Guanlin berada di depan rumah Dharmaga. Ia menekan bel di samping pintu. Tak lama, muncullah seseorang yang menyuruhnya datang kemari. Dharmaga Aditama.

"Masuk aja. Anggep rumah sendiri," ucap Dharmaga berusaha bersikap sopan pada Guanlin.

"Sorry, gue udah punya rumah sendiri. Buat lo aja," jawab Guanlin dengan nada datar sambil memasuki pintu utama di rumah Dharmaga.

"Kampret! Untung gue butuh informasi dari dia, kalo nggak udah gue geplak kali palanya. Oke sabar, Dhar." Dharmaga menggerutu pelan. Yang sialnya masih di dengar oleh Guanlin.

"Nanti aja kalo lo mau geplak gue. Tapi sebelum niat lo itu terlaksana, lo pasti nyesel duluan udah punya niat gitu ke gue." Dharmaga menautkan alisnya bingung. Maksud si Gulali apaan?

Melihat raut bingung Dharmaga, Guanlin memilih mengabaikan hal itu. Ia kemudian bertanya tentang maksud dan tujuan Dharmaga memintanya untuk datang ke rumahnya.

"Jadi, lo mau nanya apa? Langsung aja."

Merasa telah dipersilakan untuk bertanya, Dharmaga langsung saja membebani Guanlin dengan rentetan pertanyaan yang sudah lama ia simpan di dalam otaknya.

"Gue tahu lo tahu dimana Lalisa sekarang." Nada bicara Dharmaga kini lebih serius—atau memang sangat serius.

"Yap," jawab Guanlin enteng. "So?"

"Kasih tahu gue—ah, enggak. Maksudnya, gue mohon, kasih tahu gue dimana Lalisa sekarang. Gue mohon kasih tahu gue alamat Lalisa. Please." Jujur Dharmaga merasa sangat gengsi untuk bersikap seperti ini. Apalagi di depan Guanlin. Namun, mungkin ia harus sedikit mengurangi—atau bahkan menghilangkan—gengsinya demi Lalisa.

"Lo berharap jawaban apa dari gue? Lalisa di Indonesia dan masih tinggal di Bandung? Iya?"

"Nggak. Gue bisa pastiin dia udah nggak di Bandung lagi. Gue udah cari. Semua isi kota Bandung, nggak ada Lalisa di sana. Jadi, sekarang Lalisa dimana?"

"Nggak usah nyari dia lagi."

"Hah?!" alis Dharmaga semakin tertaut. Mulutnya ternganga. Dan sedetik kemudian ia berteriak marah. "Maksud lo apa?! Lo mau ngehalangin gue ketemu Lalisa?! Wah, bener-beber ya," teriak Dharmaga dengan napas menggebu-gebu.

"Jangan-jangan, ngilangnya Lalisa ini gara-gara lo ya? Lo yang nyuruh Lalisa buat ninggalin gue? Iya?!"

Mendengar tuduhan-tuduhan buruk Dharmaga mengenai dirinya tak sekali pun membuat Guanlin terpancing. Lelaki yang sedang tidak memakai kacamata bundar yang sering ia pakai itu malah menghembuskan napasnya lelah. Ia memutar kedua bola matanya malas. Dari dulu sampe sekarang, si Pelabuhan ini selalu aja tempramen sama gue. Kenapa bisa, gue, cowok dengan kelapangan hati yang bisa ngebuat siapa aja terenyuh karena kebaikan gue, bisa kalah sama si Pelabuhan yang keras kepala dan suka seenaknya. Kenapa Lalisa bisa mencintai cowok kayak dia?

"Woi! Kok lo malah diem aja sih? Kalo ada yang nanya itu jawab!" teriak Dharmaga lagi ketika melihat Guanlin masih saja tak bergeming.

Oke, Lin. Lo harus sabar. Setelah ngomongin semuanya, lo bisa pergi dari rumah si Pelabuhan ngeselin ini.

"Bego. Lo ngoceh mulu, gimana gue mau ngomong. Dengerin gue, sekarang," ucap Guanlin akhirnya membuka suara. Yang malah membuat Dharmaga membulatkan matanya. Gulali bilang gue bego? Tuh anak bisa ngomong kasar juga ternyata.

"Gue sebenarnya nggak ikhlas bilang ini ke lo. Tapi, karena Lalisa yang minta—"

"Minta apa?! Lalisa minta apa sama lo?!" sela Dharmaga tiba-tiba. Membuat Guanlin lagi-lagi menghembuskan napasnya berat. Bukan lagi malas, namun karena kesal.

By Your SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang