32; an explanation

327 51 0
                                    

Udara Bandung memang selalu sejuk setiap pagi. Seperti pagi ini, Lalisa turun dari mobil Dharmaga yang baru saja terparkir tepat di halaman rumah Wira dan Melisa dengan helaan napas yang terasa nyaman. Ia merenggangkan otot-ototnya. Tidur selama perjalanan dari Jakarta menuju Bandung membuat badannya terasa pegal. Apalagi ia harus tidur dengan posisi duduk selama berjam-jam. Lalisa kembali menoleh ke samping dan mendapati Dharmaga yang baru turun dari pintu kemudi.

Dharmaga mengucek matanya pelan. Menutupi mulutnya dengan telapak tangan kanan karena ia telah menguap untuk kesekian kalinya. Dharmaga kini menoleh kepada Lalisa. Mendapati gadis itu menatapnya dengan senyum tipis yang mengembang indah di sana. Dharmaga menarik kedua sudut bibirnya pula ke atas. Membentuk senyum manis untuk membalas senyum Lalisa. Ia berjalan mendekati Lalisa, kemudian menggadeng tangannya dan membawanya untuk masuk ke dalam rumah orang tuanya.

"Masuk dulu, yuk. Turunin kopernya nanti aja." Gadis itu mengangguk. Menerima gandengan Dharmaga lalu berjalan bersama memasuki pintu rumah yang tidak terkunci. Ah, ayah sama mamah pasti udah bangun.

"Assalamualaikum... Mamah, Ayah, Dharmaga pulang bawa calon...." Mendengar ucapan Dharmaga itu lantas membuat pipi Lalisa memerah. Panas. Seperti kepiting rebus.

"Dharmaga apaan sih."

"Hahahahaha...."

Mereka menutup pintu rumah. Berjalan memasuki ruang keluarga dan tidak menemukan seorang pun di sana.

"Ayah sama mamah mana, Dhar?"

"Paling mamah di dapur. Ayah di taman belakang. Kita ke dapur dulu aja, yuk!"

Mereka berjalan ke dapur. Menemukan perempuan yang masih terlihat cantik walaupun kulitnya sudah tidak sekencang dulu lagi. Perempuan itu kini sedang memotong ayam yang nantinya akan ia masukkan ke dalam panci yang sudah mendidih—terlihat dari potongan ayam pertama yang langsung beliau masukkan ke dalam panci.

"Asalamualaikum, Mamah." Sebuah suara lembut milik Lalisa mampu membuat perhatian perempuan yang dipanggil 'mamah' itu menoleh.

"MasyaAllah, Lalisa? Ini kamu, Nak?" tanya mamah tidak percaya ketika beliau berbalik dan mendapati Lalisa ada di dapur rumahnya. Mamah mendekat ke Lalisa. Namun sebelum niatnya untuk memeluk Lalisa terlaksana, beliau lebih dulu teringat satu hal; setelah memotong ayam, belum cuci tangan.

"Bentar, Mamah cuci tangan dulu. Kamu duluan aja ke ruang keluarga. Biar nanti Mamah susul sama ayah. Dia lagi di taman belakang soalnya, maklum lagi suka ngurusin kebun."

Lalisa mengangguk. Melirik Dharmaga yang malah memberinya senyuman kembali. "Apa sih? Senyum-senyum terus."

Lalisa berjalan terlebih dahulu ke ruang tamu. Ia berjalan tergesa, berusaha menghindari wajah Dharmaga yang senyum-senyum terus. Bahaya, jantung gue bisa meledak karena berdetak semakin kencang.

"Tungguin lah, Lis. Astaga, baper ya aku senyumin?" teriak Dharmaga masih dengan wajahnya yang senyum-senyum. Senyum-senyum terus itu bukan berarti gila, ya. Hanya perwujudan dari terlampau bahagia saja.

----

Sudah lima belas menit Lalisa dan Dharmaga duduk di depan televisi. Ayah dan mamah belum menyusul juga hingga sekarang.

"Nanti malam jalan-jalan keliling Bandung yuk?" ajak Dharmaga tiba-tiba. Ia tahu Lalisa bosan menonton tayangan televisi yang itu-itu saja. Ponselnya dan ponsel Dharmaga tertinggal di mobil. Dan saat Lalisa ingin mengambilnya, Dharmaga malah melarangnya. Katanya 'Nanti aja sekaliam ngambilin koper. Sekarang kita nikmatin aja dulu waktu tanpa hape.'

"Serius?! Mau, mau," jawab Lalisa antusias.

"Kalian kenapa pulang ke Bandung nggak ngabarin dulu?" tanya seorang pria yang sudah berumur bersama perempuan senja yang berada di sampingnya.

By Your SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang