11; aku-kamu

487 69 1
                                    

"Dia mungkin udah matahin hati lo. Tapi ini gue Lis, Dharmaga. Cowok yang akan ngubah prinsip 'semua cowok sama aja' yang udah lo tanam sejak kapan itu. Dan cowok yang akan selalu nemenin hari-hari lo saat lo terima gue jadi pacar lo. Bisa, untuk gue jadi yang seperti itu?"

"Kak...." Panggil Lalisa dengan suaranya yang bergetar.

"Gue nggak pernah menyangka sebelumnya. Sumpah, ini benar-benar mengejutkan buat gue." Tidak bohong. Memang itu kenyataan yang dialami Lalisa. Ia terkejut dan memang ia tidak pernah menyangka jika Dharmaga mencintainya. Secepat ini?

"Gue menghargai perasaan lo, Kak. Sangat amat malah," ia menjeda sebentar. Menarik nafasnya panjang, lalu kembali berkata, "tapi, kak. Boleh gue minta lo untuk nunggu gue supaya bisa menerima lo tanpa ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui gue?"

"Jujur ini terlalu cepat." Ucapnya lagi.

Menunggu? Kedengarannya tidak begitu buruk. Setidaknya Lalisa tidak langsung menolaknya dengan kata-kata halus, namun terlalu menyakitkan bila dirasakan. Menurutnya jika ia disuruh untuk menunggu, itu sama saja ia dipersilahkan untuk memperjuangkannya. Itu lebih baik daripada langsung ditolak bahkan saat dirinya belum sempat berjuang kan?

"Pasti. Gue pasti bakalan nunggu lo." Ucap Dharmaga mantap.

"Makasih. Makasih udah ngasih gue kesempatan untuk setidaknya berjuang dulu."

"Iya." Perasaan Dharmaga lega sekarang.

"Ehmm, Lis. Gue boleh minta tolong satu hal nggak sama lo?"

"Apa?"

"Boleh nggak, gue minta kalo saat lo ngasih kesempatan gue untuk merjuangin dan ngebuat lo jatuh cinta sama gue, lo sedikit ehm...," ia berdehem sambil kembali menimang apa yang akan diucapkannya. Kemudian melanjutkan, "Ngasih jarak ke cowok-cowok yang juga ngedeketin lo. Maksud gue, dalam artian lo boleh temenan sama siapapun itu, tapi asalkan ehm...."

"Aduh gimana ya, ini bukan maksud gue sok ngatur, tapi—"

"Iya." Lalisa menanggapinya dengan senyuman manis yang tercetak jelas dari bibirnya. Senyumnya cantik, guman Dharmaga dalam hati. Sangat berbeda jauh dengan senyuman miringnya—yang terlihat menyeramkan—tadi saat dirinya bertemu Jennie.

"A-apa? Ehm, maksudnya makasih udah—"

"Iya." Balas Lalisa lagi. Mengapa laki-laki itu terlihat gugup sekarang? Bodoh, rutuk Dharmaga pada dirinya sendiri.

"Gue yang harusnya ngomongg makasih, Kak. Makasih karena udah mencintai gue yang bahkan sekarang ini, nggak mencintai diri gue sendiri."

"Gue terpaku pada rasa sakit hati setahun lalu dan nggak mau lepas dari rasa sakit hati itu. Dan bodohnya, gue malah menikmati rasa sakit hati itu, Kak." Lalisa berbicara seolah dirinya adalah makhluk terbodoh karena rasa jatuh cinta yang justru malah mematahkan hatinya. Air matanya yang ia tahan—agar tidak jatuh—sejak tadi, akhirnya runtuh juga. Ia tak mampu lagi membendung cairan bening yang sudah mulai penuh di matanya bahkan telah jatuh membanjiri pipinya.

"Eh, kok malah nangis. Maaf, kalo misalnya gue salah ngomong. Gue nggak bermaksud buat lo nangis, Lis." Dharmaga khawatir melihat gadis yang dicintainya itu menangis. Tangannya terulur untuk mendekap Lalisa ke dalam pelukannya, lalu mengusap rambutnya pelan. Bukan modus seperti yang dilakukan anak zaman sekarang. Namun, itu karena hatinya yang juga merasa sakit melihat orang yang dicintainya menangis. Ia tidak tega.

By Your SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang