23; fevered brow

288 57 4
                                    

Cie... Double update...
Again. Don't forget to leave your vote and comment, luv.

Masih dengan backsound yang sama
Dan - Sheila on 7

----

Sebuah mobil berhenti tepat di depan pekarangan rumah Lalisa. Mobil yang diketahui milik Guanlin itu, dibuka pintu depannya dan menampilkan sosok gadis dengan deraian air mata yang belum mengering bersama laki-laki jangkung di seberangnya.

"Lis," lirih Guanlin kepada Lalisa saat ia berjalan lebih dekat ke arah gadis itu. Jari tangannya sempat akan menyeka air mata yang masih membasahi pipi Lalisa, namun niat itu ia urungkan dan berakhir hanya menepuk pelan pundak Lalisa sebanyak dua kali. Seolah ingin menyalurkan kekuatan Lalisa sambil berkata, "jangan sedih terus. Dharmaga cuman nggak mau ngebuat lo sedih dan kepikiran terus saat dia pergi ke London nanti. Cuman, ya caranya yang salah aja. Dia terlihat pengecut saat dia bilang nggak berani LDR, tapi dia punya maksud yang tulus, Lis. Dia nggak mau ngebuat lo kangen berat saat dia lupa ngasih kabar nantinya. Tapi ya, balik lagi. Ini semua tergantung kalian mau nyikapin dan ngadepinnya gimana. Gue akan selalu ngedukung lo apa pun itu nantinya. Sebagai sahabat lo, gue sayang sama lo, Lis."

Guanlin rasa ia bohong di kalimat akhirnya. Ia masih menyayangi Lalisa sebagai laki-laki yang menyayangi gadisnya.

"Makasih, Lin. Lo udah ada saat gue butuhin lo. Bahkan sampai mau ngeluangin waktu tidur lo cuman buat bela-belain nganter gue ke rumah Dharmaga. Gue—makasih." Balas Lalisa sesaat setelah Guanlin menurunkan tangannya dari pundak Lalisa. Ia menatap wajah Guanlin sejenak, kemudian kembali berkata, "setelah ini, lo langsung pulang ya. Jangan ngebut, ya walaupun jam segini itu jalanannya sepi. Lo harus jaga keselamatan sampai rumah."

Guanlin tersenyum mendengarnya. Ia menatap lekat tepat di mata Lalisa. Dalam hati ia berkata, "Jangankan jaga keselamatan. Jaga hati buat lo aja gue usahain, Lis." Namun yang terucap hanya kalimat, "Iya. Gue pulang dulu kalo gitu. Dah..."

Lalisa menatap kosong kepergian mobil yang telah mengantarnya tadi hingga hilang ditelan jarak yang semakin menjauh. Ia melangkahkan kakinya menuju pintu rumah yang tidak terkunci. Mamahnya menyambutnya di ruang keluarga dengan raut cemas dan perasaan panik. Sejak tadi Lalisa dan mamahnya bahkan sudah panik kala Anne yang tiba-tiba menelpon Lalisa dan mengabarkan jika Dharmaga berenang di malam selarut ini. Anne mengatakam jika Dharmaga terlihat seperti orang prustasi dan bahkan tidak mau mentas saat dirinya menyuruh Dharmaga melakukan hal itu.

Namun, kini kepanikan tante Melina disebabkan oleh wajah merah anaknya yang terlihat habis menangis. Matanya sembab, hidungnya merah, dan pipinya masih dibasahi oleh air mata.

"Ya ampun. Kamu kenapa, Lis? Kok nangis gitu? Dharmaga kenapa emangnya?" tanya mamahnya sembari menghampiri Lalisa yang baru saja menginjakkan kaki di ruang keluarga. Lalisa tidak bergeming. Ia lantas menarik mamahnya kedalam pelukannya. Lagi-lagi ia menangis. Mencurahkan perasaannya kepada sang ibunda.

"Dharmaga mau pergi ke London, Mah. Dia—dia,"

"Lhoh? Bagus dong, Nak. Akhirnya dia ambil keputusan buat nerima beasiswa itu. Trus apa salahnya? Kamu nggak mau LDR sama dia?" tanya mamah menebak. Beliau mengelus rambut Lalisa sayang.

Lalisa menggeleng pelan. Ia melepas dekapan mamahnya. Lalu mengajak mamahnya untuk duduk di sofa ruang keluarga. Setelah hembusan napasnya ia keluarkan. Lalisa mulai menceritakan kejadian yang terjadi di rumah Dharmaga baru saja. Ia menceritakan dari mulai ia memasuki pintu yang kebetulan tidak tetkunci dan mendengar sebuah suara orang berbicara menyebut-nyebut namanya. Ia lalu melangkahkan kakinya menuju sumber suara itu dan mendapati Dharmaga beserta keluarganya sedang membicaran perihal beasiswa ke London. Ia sempat ingin langsung mengambur ke Dharmaga saat matanya menangkap sosok Dharmaga yang terlihat kedinginan dengan handuk yang melekat di tubuhnya. Celana laki-laki itu yang basah semakin menambah kekhawatiran Lalisa akan betapa kedinginannya Dharmaga sekarang. Namun niatnya itu urung terlaksana kala Dharmaga menuturkan jika dirinya akan memutuskan Lalisa karena harus pergi ke London. Dharmaga bilang ia tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh. Yang mana menurut Lalisa adalah tidak masuk akal. Mengapa bisa, seorang Dharmaga sebegitu takutnya mengahadapi kenyataan jika hubungan mereka yang tetap berlanjut harus dipisahkan oleh jarak dan waktu? Mengapa laki-laki itu malah memilih putus jika ada pilihan lain untuk mempertahankan hubungan mereka? Mengapa Dharmaga harus punya pemikiran yang sesempit itu? Masih banyak pertanyaan mengapa yang ingin Lalisa katakan terhadap mamahnya jika, tante Melina tidak segera menenangkan anak gadisnya yang terisak lirih itu.

"Calm down, Baby. Stop crying a lot. Cause everythings is gonna be alright. Kamu bakalan bisa ambil hikmah dari kejadian ini. Dharmaga sekarang hanya sedang bimbang. Impian akan segera tetcapai, namun mungkin waktunya yang kurang tepat. Dharmaga nggak akan mungkin nyakitin Lalisa. Mamah yakin itu. So, don't cry, yeah?"

Lalisa mengangguk. Kembali mendekap mamahnya kedalam pelukan hangat miliknya. Hanya kepada mamah, ia bisa mencurahkan segala isi hatinya. Mamahnya adalah sahabat terbaiknya. Dan sahabat terbaik yang pernah ia punya hanya mamahnya. Maka tidak perlu diragukan seberapa sayangnya Lalisa kepada sang mamah.

by your side

Dharmaga mengerang pelan. Ia terbangun dengan kompresan menempel di dahinya. Diliriknya jam yang berada di nakas samping tempat tidurnya. Jarum jam menunjuk di angka 9. Baginya bangun di jam segitu bukanlah hal yang mengagetkan. Ia sudah biasa bangun siang. Yang ia bingungkan adalah sejak kapan dirinya tertidur dengan baju yang sudah diganti dan kompres yang berada di dahinya? Siapa yang memindahkannya ke kamar semalam? Karena yang terakhir ia ingat adalah saat dimana Lalisa meninggalkannya bersama sunyi di tepi jalan dengan angin malam yang cukup dingin—ditambah dengan keadaan Dharmaga yang masih basah kuyup dan tidak memakai alas kaki semalam.

Kepalanya nyeri. Matanya juga susah-susah gampang untuk mengerjap. Ia menahan sakit kepala yang menyerangnya hingga hanya bayang-bayang pudar yang dapat ia lihat sebelum akhirnya Dharmaga terbangun di kasurnya yang empuk.

"Udah bangun?" tanya seorang gadis dengan membawa nampan berisikan air putih, susu, roti tawar dan juga obat untuk Dharmaga. Gadis itu menaruh nampannya di nakas samping tempat tidur Dharmaga. Ia melangkah menuju gorden yang masih tertutup. Gadis itu membukanya dan mengakibatkan cahaya matahari langsung masuk mengenai wajah bangun tidur Dharmaga. Dharmaga mengangkat kedua tangannya untuk menutupi silau sinar matahari yang menerp wajahnya. Ada raut tidak suka yang dipancarkan gadis itu kala pandangannya terarah kepada Dharmaga. Dharmaga jelas tidak melihat karena ia sedang mati-matian menutupi silau matahari dengan tangannya.

"Ditanya tuh jawab." Kata gadis itu lagi seraya mendekati ranjang Dharmaga. Ia mengangkat tangan yang menutupi wajah Dharmaga. Mengambil kompres yang menempel di dahinya dan menggantinya.

"Pertanyaan nggak penting nggak perlu dijawab." Balas Dharmaga dengan suaranya yang menjadi lebih serak dan dalam.

Gadis di hadapannya itu mengangkat sebelah alisnya. Mengerti,  Dharmaga kembali berucap, "Udah tau gue bangun pake nanya lagi. Basi banget. Nanya apa kek, lo nggakpapa Ga? Kemaren Lalisa gimana pulangnya? Kenapa bisa lo nyelem malem-malem gitu?  Lo sehat-sehat ajakan? Adiknya lagi kena masalah kok nggak diperhatiin."

Untuk pertama kalinya, Anne senang mendengar ocehan tidak penting Dharmaga. Dharmaganya kembali. Adik resenya kembali. Adik cerewetnya kembali. Bukan lagi Dharmaga yang ketus dan bertindak semena-mena. Bukan Dharmaga yang dingin lagi seperti semalam. Tak sadar ia menyunggingkan senyum manisnya kepada Dharmaga. Mengelus rambut adiknya itu sayang.

"Dih, udah sinting. Ngapain senyum-senyum gitu? Pake ngelus-ngelus segala lagi." Ujar Dharmaga yang malah meledek tingkah aneh kakaknya.

"Terserah gue. Udah ya, itu diminum obatnya. Kalau udah mandi, nanti ke bawah. Mamah udah bikinin bubur buat lo." Kata Anne sambil menuju pintu keluar kamar Dharmaga.

"Obat?"

"Kemarin lo pingsang di pinggir jalan kalo lo lupa. Kayak orang gila tiduran di pinggir jalan aja." Kata Anne lagi sebelum akhirnya ia melangkah pergi meninggalkan Dharmaga dengan obat dan susu yang harus ia minum.

-by your side-

By Your SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang