Mungkin kini kau telah
menghilang tanpa jejak
Mengubur semua
indah kenangan
Tapi aku selalu
menunggumu disini
Bila saja kau berubah pikiranSeberapa Pantas - Sheila on Seven
----
Enam tahun kemudian...
Sebuah suara mampu membuat salah seorang yang duduk termenung di depan mejanya kaget. Seseorang itu menolehkan kepalanya ke samping dan mendapati temannya berdiri di depan pintu ruang kerjanya.
"Woah, Dhar! Ngalamun aja lo. Masih mikirin yang dulu itu?"
"Ck. Berisik, lo."
Dharmaga mendengus kesal dan melemparkan tatapan jengah kepada temannya itu.
Bukannya tersinggung dan marah, temannya justru tertawa dan semakin tertantang untuk membuat Dharmaga kesal. "Udah, jangan galau mulu. Paling juga dia udah lupa sama lo. Makan gih! Biar punya tenaga buat cari yang baru," ejeknya kembali dengan suara tawa di akhir.
"Ampas, dah lo, Sam. Nggak usah sok peduli deh, jijik gue dengarnya."
Samuel melangkahkan kakinya memasuki ruangan Dharmaga. Walaupun jabatan Dharmaga lebih tinggi darinya, namun ia enggan untuk menghormati Dharmaga layaknya bos yang menghormati bawahannya. Gila aja, yang begituan gue hormatin, ucapnya setiap kali ada orang yang bertanya akan ketidakseganannya terhadap Dharmaga.
"Gimana? Ada perkembangan?"
Mendengar itu, bahu Dharmaga meringsut pelan. Menyenderkan badannya ke kursi kerja yang ia duduki. Ia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya keras. Nyaris seperti orang menahan kesal—atau mungkin, memang kesal.
"Nggak ada."
"Dua tahun. Dia ilang tanpa kabar udah dua tahun. Gue kehilangan semua akses untuk dapetin informasi tentang dia. Nomernya udah lama nggak aktif. Sosial medianya udah lama nggak dipakai. Dia bahkan udah pindah rumah. Sialnya, nggak ada satu pun orang yang tahu dia sekarang ada dimana. Seolah dia emang bener-bener menghilang dan nggak ngasih satu pun celah buat gue untuk temuin dia lagi."
Samuel mengetuk-ketuk meja yang jadi penghalang antara dirinya dan Dharmaga. Mengingat-ingat kembali kejadian dua tahun lalu. Saat dia menemukan Dharmaga kembali menjadi rekannya. Mereka dipertemukan dalam satu pekerjaan yang sama. Dan disitulah awal mula ia dan Dharmaga kembali menjadi teman, atau kalian bisa menyebut mereka sahabat mengingat memang dulunya mereka adalah sohib yang sempat bersikap dingin satu sama lain. Dua tahun lalu pun adalah cerita awal mula Dharmaga dan Lalisa putus hubungan komunikasi. Kalau tidak salah, Dharmaga sempat bercerita kepada Samuel awal mulanya.
Saat itu, Dharmaga kembali ke tanah air. Ia telah memberikan kabar bahagia itu jauh-jauh hari sebelum ia pulang kepada keluarganya dan Lalisa. Semua menyambut kabar bahagia itu dengan gembira. Ayah dan mamah yang memang telah lama menunggu putra bungsunya pulang pun senang dibuatnya. Kakaknya, Anne bahkan berjanji untuk menjemput Dharmaga bersama dengan kekasihnya. Mengingat Dharmaga yang memang belum pernah bertatap muka sekalipun dengan Mas Hari—nama kekasih kakaknya—pun dengan senang hati menyetujui ucapan Anne. Sena juga bersorak senang dalam komunikasinya dengan Dharmaga melalui face time. Namun, diantara semua orang itu, ada satu yang kurang. Lalisa. Dimana Lalisanya? Mengapa saat kabar bahagia ini datang, ia malah tiba-tiba menghilang tanpa meninggalkannya jejak satu pun. Nomor teleponnya yang tiba-tiba tidak bisa dihubungi, juga sosial medianya yang tiba-tiba tidak aktif semakin menambah rasa cemas dan gelisah yang melingkupi Dharmaga. Saat itu juga Dharmaga meminta Anne dan mamahnya untuk mendatangi rumah Lalisa. Kabar bahwa Lalisa pindah pun sampai di telinga Dharmaga. Sempat tidak percaya, Dharmaga pun mendatangi rumah Lalisa langsung saat ia sudah sampai di Indonesia. Dan situlah, awal mula Dharmaga benar-benar kehilangan Lalisanya.
"Kalau jodoh, mau lari sejauh apa pun, Lalisa bakalan tetap datangnya ke lo Dhar. Gue pastiin itu,"
"Tapi, gue nggak bisa untuk pastiin dia jodoh lo apa bukan. Itu udah jadi kuasa yang di atas. Nggak ada satu pun orang yang bisa nebak kuasa-Nya."
by your side
Jam pulang kantor telah berlalu lima belas menit lalu. Dharmaga yang sudah terlihat lelah kini segera mungkin memasuki mobilnya, lantas begitu saja meninggalkan basement kantor menuju ramainya jalan ibu kota. Jakarta menjadi tempat tinggalnya semenjak ia pulang dari London dua tahun lalu. Bekerja di salah satu kantor ternama di Jakarta mengharuskannya untuk meninggalkan Bandung. Kota kelahirannya. Kota dimana ia dibesarkan dan tumbuh. Serta kota dimana ia dan Lalisa dipertemukan. Dan kota dimana ia dan Lalisa dipisahkan.
Jakarta bukanlah Jakarta jika tidak ada acara macet di jam pulang kantor. Dharmaga menyederkan bahunya di kursi kemudi. Mengambil rokoknya dan lantas mematik api dari korek yang berada di kantongnya. Dharmaga yang dulu bahkan tidak berminat untuk mencoba rokok—bahkan, ketika teman SMA-nya saling menawarinya rokok pun ia tolak—kini malah menjadi penikmat dari benda itu. Hanya rokok saja. Bukan minuman keras atau bahkan narkoba. Karena bersyukur, ia masih ingat dosa untuk tidak menjadi pecandu narkoba.
Dharmaga membuka sedikit jendela mobilnya, mengeluarkan putung rokok untuk ia jatuhkan abunya. Ia kemudian menghembuskan asap dari benda itu ke luar jendela. Membentuk sebuah gumpalan putih keabu-abuan di udara yang perlahan memudar seiring berhembusnya angin. Ia mengamati langit dari balik jendela yang terbuka. Tidak ada satu pun bintang di sana. Hujan pasti akan segera turun malam ini. Dan benar saja. Tak lama kemudian, beberapa titik air pun jatuh mengenai tangan yang ia keluarkan karena masih memegang rokok. Segera ia menarik tangannya ke dalam mobil. Mengarahkan rokoknya ke asbak yang memang ia sediakan di mobil—namun, asbak itu selalu bersih karena jarang ia gunakan—kemudian mematikan apinya dengan cara menekan putung rokok itu. Ia mengarahkan pandangan ke depan. Terlihat beberapa mobil sudah melaju walau dengan kecepatan rendah. Bergegas ia menancap gasnya pelan untuk mengikis jarak dari mobil di depannya.
Dharmaga baru sampai rumah saat jarum jam menunjukkan pukul 21.45. Ia segera memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Setelah itu, ia memilih untuk langsung mandi dan mengganti pakaian dengan baju yang lebih santai. Saat ia sudah benar-benar bersih dan terlihat lebih segar, ia memilih untuk duduk di depan teras rumahnya. Menunggu abang-abang tukang nasi goreng yang sering lewat di daerah kompleks rumahnya.
"Bang Yosh! Nasi gorengnya satu ya." Teriak Dharmaga saat melihat gerobak berwarna biru tua melewati rumahnya. Gerobak nasi goreng langganannya.
"Siap, Mas Dhar. Pedes, telurnya dua, dan ndak pakai tomat kan?" tanya pedagang itu seolah memang sudah hapal apa kesukaan Dharmaga.
"Iya."
Tak butuh waktu lama. Nasi goreng pesanannyapun akhirnya matang. Ia memberikan selembar uang dua puluh ribuan dan langsung kembali memasuki rumahnya.
Dharmaga mengambil piring dari dapur dan membawanya ke ruang keluarga. Menyalakan televisi, ia menyendok nasi goreng ke dalam mulutnya dengan mata terfokus pada sebuah acara musik dari Negeri Ginseng sana. Kalau tidak salah, di situ ada salah satu nama girl band yang Lalisa idolakan. Blackpink? Ah iya. Lalisa menyukai lagu-lagu dan style dari girl band itu. Dan hanya dengan hal ini, ia bisa merasakan kehadiran Lalisa yang berada di sisinya.
-by your side-
A.n
Eak. Bang Dharmaga muncul lagi. Eh, malah mbak Lalisanya yang ilang. Hahaha. Kira-kira pergi kemana ya mbak Lalisa? Ke luar negeri juga kah? Atau malah sama Guanlin sekarang? Duh, kasian babang Dharmaga jadi galau. Tapi nggakpapa. Bang Dharmaga jadi sering nontonin Blackpink karena kangen sama mbak Lalisa. Hagakkhhghhhjhbjlakahh.
Oiya. Mas (tadi bang. wkwk) Dharmaga ngerokok itu bukan berarti dia jadi betboi gara-gara pulang dari England. Helaw, Dharmaga udah 26 tahun ya sekarang. Dan hidup di Jakarta. Ya wajar ajasih dia cuman ngerokok ini. Cuman. Iya cuman. Kebanyakan teman seusianya malah ngelakuin hal yang lebih dari sekedar merokok. Nah, beruntung Dharmaga cuman ngerokok karena takut dosa. Hehe. Jangan bikin dosa. Berat. Dharmaga nggak akan kuat. #okekalimatsayarecehdanalaymaafkanyamaafjugakalokalianjadinggakbisabacahastaginihehe
KAMU SEDANG MEMBACA
By Your Side
General Fiction[Completed] Mencintainya, aku ingin selalu. Namun bersamanya selalu, aku tak pernah tahu. Dicintainya, merupakan aku. Mencintainya, adalah diriku. Terus berada di sampingnya, itulah mimpiku. Dan kewajibanku adalah berusaha untuk mewujudkan itu. Jik...