"Sena naksir Guanlin?"
"Iya. Dia kayaknya cemburu deh, pas kamu kelihatan khawatir banget sama Gulali. Mana pas Gulali sadar kamunya malah genggam tangan dia lagi. Siapa juga yang nggak cemburu kalau orang yang dia suka digituin orang lain?"
"Termasuk kamu?"
"Eh, maaf ya, nggak tuh."
"Alah, bohong."
Percakapan ringan itu terjadi mana kala Lalisa dan Dharmaga baru saja menyelesaikan sarapan bersama di apartemen milik Dharmaga--yang kini sudah resmi menjadi rumah bagi mereka berdua. Segelas cokelat panas dan segelas jus melon tersaji di samping piring yang sudah kosong. Sehabis menikmati nasi goreng buatan Lalisa, mereka enggan beranjak dari dapur dan memilih untuk sekalian menghabiskan minuman mereka di sana. Menikmati matahari pagi yang menyelusup masuk melalui tirai putih transparan yang belum sepenuhnya dibuka.
"Ngapain cemburu? Cemburu itu cuman buat orang yang iri karena nggak bisa memiliki sesuatu yang dia pengen. Kamu kan udah resmi dan sah jadi milik aku. Ngapain aku harus cemburu?"
Semburat merah hangat menjalar di pipinya. Ah, harusnya ia mencoba terbiasa. Namun, sayangnya kalimat Dharmaga memang begitu manis hingga tidak bisa membuatnya merasa terbiasa. Walau sederhana, tetapi ia bahagia karena memang menyukai hal itu.
"Iya, deh," sahut Lalisa setelah menetralkan ekspresinya.
"Kamu mau cuti sampai kapan, Dhar?" tanya Lalisa mengganti topik bahasan lain. Ia meneguk cokelat panasnya yang sudah mulai dingin. Tidak sepanas sebelumnya.
"Kenapa emangnya? Masih mau terus berduaan sama aku ya? Semalem belom cukup?" balas Dharmaga yang malah balik bertanya. Pertanyaan menyebalkan yang Lalisa dengar sepagi ini. Dharmaga tersenyum jahil. Mendekat ke Lalisa dengan ancang-ancang tangan yang ingin memeluk. Namun, sebelum kedua tangan itu mendarat di bahu Lalisa, gadis itu lebih dulu bangkit dan berjalan menuju tempat cuci piring. Membawa piring Dharmaga dan dirinya yang sudah kosong. Membuat Dharmaga meluruskan tangan yang akan memeluk bahu Lalisa tadi ke atas meja dan menenggelamkan kepalanya di antara kedua lengan itu. Bibirnya mengerucut sebal.
"Ish...," desis Lalisa yang juga sebal. "Pagi-pagi udah bikin kesel aja. Ditanya apa, balasnya apa."
"Huft. Iya, iya. Maafin, deh," sesal Dharmaga kemudian. Ia menegakkan tubuhnya ke posisi duduk sempurna. Meminum jus melonnya yang tinggal seperempat gelas. Kemudian bangkit menuju tempat cuci piring sambil membawa gelasnya yang sudah kosong.
"Aku cuti sampai minggu depan."
"Apa?!" Lalisa menjerit kaget. Ada nada tidak suka yang terdengar dari suaranya. Ia membilas tangannya yang terkena sabun cucian. Kemudian mengelap tangannya menggunakan handuk kecil yang memang terpasang di samping tempat cuci piring.
"Cuti seminggu? Lama banget, Dhar. Kamu mau ngapain emangnya selama itu nggak ngantor?" lanjutnya lagi masih dengan nada yang sama. Bahkan tanpa sadar ia kini berkacak pinggang.
"Ya, manja-manjaan sama kamu, lah," jawab Dharmaga yang langsung memeluk tubuh Lalisa. Menyelusupkan tangannya di sela tangan gadis yang berkacak pinggang itu.
Tidak beranjak atau pun menghindar, Lalisa lebih memilih untuk membalas pelukan Dharmaga. Membiarkan laki-laki yang kemarin sudah sah menjadi suaminya itu menaruh kepalanya di bahu Lalisa. "Mau manja-manjaan ya?" tanya Lalisa mengulangi kalimat Dharmaga. Nada suaranya melembut. Sayang, tak berlangsung lama karena setelah itu Dharmaga mendapatkan bertubi-tubi cubitan panas di perutnya. "Kamu pikir kita nggak butuh duit apa buat beli ini itu?! Mau bayar uang pajak pakai apa kalau nanti kita nggak ada duit karena kamunya yang malas-malasan kerja gini?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
By Your Side
General Fiction[Completed] Mencintainya, aku ingin selalu. Namun bersamanya selalu, aku tak pernah tahu. Dicintainya, merupakan aku. Mencintainya, adalah diriku. Terus berada di sampingnya, itulah mimpiku. Dan kewajibanku adalah berusaha untuk mewujudkan itu. Jik...