Alea, 2026.
Banyak hal yang terjadi setelah tujuh tahun berlalu, aku yang awalnya berusaha tidak perduli dan berusaha untuk tidak menyambung kembali benang yang dulunya sudah terputus, ternyata memang sedang dibercandakan oleh semesta.
Perjalanan mengantar aku pulang ke rumah Eyang semalam membuka banyak lembaran baru yang belum sempat aku baca, aku senang mendengar apa yang dua laki-laki itu bicarakan, tentang keseharian mereka, tentang pertemanan mereka yang ternyata sudah terjalin sejak kuliah, tentang bagaimana aku dan Sabian saling mengenal, hingga kesibukan keduanya mengurus coffee shop yang ternyata sudah berjalan dua tahunan, aku ingat Yosse pernah bilang ingin membuka usaha coffee shop-nya sendiri, dan dia sudah berhasil mewujudkannya.
Lalu mengalir tentang pembicaraan apapun, bahkan tentang kenangan di masa lalu yang membuat aku kadang merasa bersalah akan banyak hal. Yosse jauh lebih bisa bersikap santai dan menganggap aku seperti seseorang yang memang datang dari masa lalunya, sebagai teman lama.
Keberadaan Sabian diantara aku dan Yosse adalah kunci utama pertemuan tidak terduga semalam itu menjadi tidak canggung, bahkan aku melupakan tentang kebingungan akan bagaimana harus menyapa Yosse setalah sekian lama, semuanya mengalir begitu saja, sampai tanpa sadar aku bahkan mengiyakan ajakan Sabian untuk kembali berteman dan setuju ketika dia menawarkan untuk mengantar aku berkeliling selama masih di Jogja.
Sampai disinilah kita bertiga malam ini, awalnya aku kira Sabian akan datang sendiri untuk menjemputku, tapi dugaanku salah karena ternyata Yosse masih ikut juga dengan duduk santai di kursi penumpang bagian depan, laki-laki itu sepertinya baru saja pulang dari pekerjaan kantorannya, dilihat dari kemeja abu-abu muda yang dikenakannya sudah sedikit kusut dengan bagian lengan yang tergulung ke atas.
Berbeda dengan Sabian yang hanya mengenakan sweater berwarna hijau botol, Sabian terlihat jauh lebih santai, aku masih tidak mengerti kenapa Yosse bekerja sekeras itu dengan mempertahankan dua pekerjaan yang aku rasa keduanya sama beratnya.
"Kok perut gue agak nggak enak ya?" Kata Sabian di balik kemudi.
Laki-laki itu memang setelah keluar dari tempo gelato beberapa kali memganggi perutnya sendiri, saat mengemudi juga terlihat duduk dengan gelisah.
"Kenapa?" Yosse disampingnya juga mulai waspada.
Sabian menggeleng, "Masih bisa gue tahan." Ucapnya yakin.
Sampai tidak lama akhirnya kita sampai pada salah satu warung sate yang cukup terkenal di Jogja, lebih tepatnya berada di Condongcatur, Sleman.
Sate ratu sendiri sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 2016, tapi aku yang tinggal hampir empat tahun disini kurang tau keberadaannya, malah baru tau saat sudah lulus kuliah.
Pelayanan yang diberikan oleh sate ratu semenjak kita baru sampai benar-benar sangat berkesan, mereka selalu memasang wajah ramah dengan senyuman bahkan ketika hari sudah malam.
Setelah ada meja yang kosong aku dan sabian masuk lebih dulu dengan diantar salah satu pelayan menuju meja yang sudah ditentukan, sementara Yosse mengambil minuman untuk kita bertiga.
Aku dan Sabian memesan menu utama yakni sate ayam merah beserta nasi putih tiga porsi, kuah polos, dan ceker tugel.
"Aduh, aduh.."
"Kenapa, Yan?" Aku bertanya dengan khawatir. Laki-laki itu mengaduh sambil masih memeganggi perutnya.
Yosse juga sudah datang membawa tiga botol air mineral dingin dan kini duduk di sebelah Sabian. "Kenapa, lo?" Tanya Yosse lagi.
"Mules banget anjing! Ini kayaknya gara-gara gue makan es krim kemangi deh." Ucapnya dengan tidak nyaman, bahkan keningnya mulai berkeringat.
"Ke kamar mandi anjir, buruan!" Yosse langsung berdiri, menarik Sabian keluar dari kursi tempat dia duduk. "Awas aja sampai kentut disini, kentut lo bau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Telah Usai, Bahkan Sebelum Memulai
RomanceKTUBSM | Kita Telah Usai, Bahkan Sebelum Memulai Tuhan, jika boleh aku ingin jatuh cinta lagi, aku ingin merasakan perasaan suka dan senang bersama dengan orang lain, aku ingin dengan tenang menjalin hubungan baru, tanpa harus selalu terbayang akan...