KTUBSM; 11. Mati Rasa Tidak untuk Dirayakan

270 24 0
                                    

Alea, 2026.

Sehari setelah kepergianku, dia bilang akan menunggu kepulanganku. Sebuah pesan yang aku pikir dia sungguh-sungguh mengatakannya. Sebuah pesan yang aku percaya jika mungkin dia akan menjadikan aku satu-satunya. Sebuah pesan yang dengan bodohnya membuat aku berpikir, jika mungkin dia tidak benar-benar menyerah, dia tidak akan pernah lelah. Dia akan tetap kembali dan mengejarku lagi dan lagi.

Dia kunanti, sebuah kedewasaan dalam jiwa yang matang
Datanglah takala kau senggang
Dimana kan selalu ku seduh teh bersama kue manis itu di atas nampan
Jangan tersesat pada sisi yang lain
Dan yakinlah, bahkan sampai jadi debu pun
Menantimu tidak akan pernah melelahkan bagiku
Tidak usah mengkhawatirkanku
Kau kan tetap ku nanti, bahkan untuk waktu yang lama
Selamanya.

Aku akui, saat umurku masih belum genap dua puluh tahun kala itu, semuanya masih membingungkan, aku yang labil, aku yang nggak mau menjalin hubungan tapi tetap mengharapkan orang lain memperlakukan aku seolah dia mencintaiku, dan aku yang terkadang bersikap sangat egois.

Tahun 2019, dimana terakhir kali aku bertemu dengannya. Menjadi hari yang awalnya mungkin sangat aku sesali, karena sampai akhirpun gengsiku masih kujunjung dengan sangat tinggi, aku tidak mau mengakui perasaan yang mungkin sebenarnya sudah sejak lama tumbuh dalam hatiku.

Pesan yang bahkan sampai sekarang masih aku simpan dalam sebuah tangkapan layar, dia yang bilang akan menungguku. Tapi kenyataannya tidak. Kita berdua ternyata sama saja, labilnya.

"Lo tau nggak sih, si Yosse nih maksa banget pacarnya buat dikasih kain juga kan gue kesel ya, emang dia siapa, keluarga juga bukan." Omel Ersa saat perempuan itu masih sibuk mempersiapkan makan malam untuk kita berdua.

Malam ini aku akan menginap di kosan Ersa, tidak jauh dari kantor tempatnya bekerja yang juga tidak begitu jauh dengan rumah Eyang karena sama-sama berada di Sleman. Perempuan yang selalu mempertahankan rambut pendeknya semenjak pertama kali kita saling mengenal hampir lima belas tahun lalu itu tidak berhenti mengomel, bahkan sejak sejam yang lalu saat aku baru sampai kosannya.

"Emang pacarnya juga orang Jogja?" Tanyaku santai, sambil memakan buah potong yang tadi disiapkan Ersa.

"Bukan."

"Ya kalau emang kainnya udah pesen pas, bilang aja nggak sih udah nggak ada sisa."

"Iya kan, lagian ini pernikahan gue sama kakaknya gitu, bukan acaranya dia. Suka-suka gue mau ngasih kain bridesmaids ke siapa aja dan kain keluarga juga udah pas, yang pasti ya mereka juga belum nikah, belum sah lah tuh cewek jadi keluarga inti, ibarat masih orang asing. Kecuali dia udah jadi adik ipar gue mah gimana lagi."

"Hmm." Aku hanya menanggapi dengan anggukan, bingung mau ngasih jawaban apa juga.

"Udah siap nih, bantu bawa ke meja." Aku berdiri dan membantu Ersa membawa mangkuk dan piring penuh masakannya itu ke meja dan bersiap untuk makan malam.

"Pacar yang kali ini langgeng banget ya?"

"Yosse?" Ersa memastikan, "Kayaknya sih hampir tiga tahun. Kan makanya gue bilang, lo nih mending kemarin terima lamarannya Janu, segala keinget bocah sableng."

Bodoh juga kalau dipikir, aku juga menertawakan diriku sendiri. "Tapi gue nggak mau nikah tanpa dilandasi cinta."

"Emang lo cinta sama cowok brengsek kayak Yosse?" Aku diam, masih tidak berani mengatakannya dengan jelas, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu.

Sebrengsek apa memangnya cowok itu sampai Ersa selalu kesal sekali dengan calon adik iparnya itu, Ersa tau sedikit tentang ceritaku, kita semua berteman sejak masih sekolah, aku-Ersa-Yosse, kita satu SMA, dan Ersa juga tau bagaimana dulu Yosse terlihat sangat menyukaiku, mengejarku, dan mungkin benar mencintaiku?

Kita Telah Usai, Bahkan Sebelum MemulaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang