Yosse, 2026.
Satu hal yang perlu di garis bawahi kalau ucapan sama otak gue kayaknya emang selalu nggak singkron setiap kali gue ketemu lagi sama Alea.
Dua tahun berlalu gue kira gue udah bisa lupain Alea, menjalani kehidupan dengan normal, mencintai Karina yang udah gue pacari selama tiga tahun, dan mungkin memikirkan hal lain yang jauh lebih prospek untuk kehidupan gue sendiri.
Tapi semuanya tiba-tiba kacau hanya karena Alea muncul lagi di hadapan gue dengan keadaan yang bikin gue khawatir setengah mati. Pertemuan kali ini bener-bener di luar dugaan, karena seharusnya pertemuan kita berdua baru terjadi beberapa hari ke depan, tepat di hari pernikahan Ersa dan Yovi.
Tujuh tahun berlalu, gue yakin kita berdua sudah sama-sama dewasa sekarang. Umur gue juga udah dua puluh delapan, bukan lagi Yosse yang umurnya masih delapan belas tahun dan mencintai Alea secara sepihak untuk waktu yang lama.
Harusnya gue udah siap kalau pada akhirnya harus ketemu lagi sama Alea, karena hal itu memang tidak mungkin dihindari, mengingat pertemanan gue dan Alea seperti benang kusut yang saling terkait. Gue juga masih nggak bisa ngerti kenapa bisa sekebetulan itu Alea dan Sabian saling mengenal di masa lalu.
"Btw, kaki lo udah nggak papa?" Tanya gue setelah kita berdua berjalan bersisihan menuju salah satu tempat yang akan kita datangi setelah makan di sate ratu.
"Tadi pagi langsung dipanggilin tukang pijet, udah nggak sakit sih."
Gue mengangguk, "Syukurlah."
Kita berdua kembali sama-sama diam, jujur gue bingung dengan diri gue sendiri, kenapa tiba-tiba banget secara impulsive nawarin Alea buat pergi ke suatu tempat daripada nganter dia pulang sehabis makan. Apa perbuatan gue bener?
Teman, ya gue dan Alea cuma teman. Nggak lebih dari itu, jadi nggak masalah.
"Teater garasi?" Alea menghentikan langkahnya.
Kita berdua sudah berada di depan pintu masuk ke salah satu tempat yang biasa diadakan pertunjukan teatrikal di Yogyakarta. Secara kebetulan juga, tadi siang gue dapet undangan dari orang yang gue kenal buat dateng ke pentas yang diadakan di waktu yang tidak menentu.
"Pernah?"
Alea menggeleng, "Pas kuliah cuma kepikiran pengen nonton teater tapi ternyata nggak pernah kesampaian sampe lulus."
"Tau gitu dulu gue ajak ya, gue sering dateng ke acara teatrikal." Alea tertawa kecil, lalu berjalan masuk lebih dulu.
Bodoh, ngomong apa sih gue? Dulu juga Alea belum tentu mau pergi sama gue.
Tepat pukul sembilan malam, acara akan segera dimulai, beberapa kursi sudah terisi penuh oleh pengunjung yang juga hendak menonton teatrikal, "Sini." Gue mengandeng tangan Alea dan mencari jalan untuk mendapatkan kursi yang masih kosong.
Untung saja masih ada kursi kosong, di baris ketiga dari depan di bagian tengah, gue dan Alea duduk sambil menunggu acara dimulai, sampai gue baru sadar, "Eh, sorry." Kata gue langsung melepaskan genggaman gue pada tangan Alea, sumpah gue bukan lagi nyari kesempatan, tadi juga reflek banget narik tangannya biar gampang jalannya karena ruangan juga udah remang-remang dimana lampu utama udah dimatikan.
Sepanjang pertunjukan beberapa kali kita tertawa saat ada adegan yang lucu, bertepuk tangan bersamaan dengan pengujung lainnya karena penampilan yang memukau, bahkan saat ada adegan yang membuat sedih juga suasana menjadi hening dan semua orang menghayati adegan yang memilukan, bahkan ada beberapa penonton yang ikut menangis.
Tak lain dengan Alea yang begitu fokus pada orang-orang yang bermain peran di atas panggung itu, ada kalanya dia tertawa, termangu diam, senyum dengan manis di bawah cahaya remang ruang teater, juga terkejut saat ada adegan yang mendebarkan. Dia terlihat sangat menikmati pertunjukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Telah Usai, Bahkan Sebelum Memulai
RomanceKTUBSM | Kita Telah Usai, Bahkan Sebelum Memulai Tuhan, jika boleh aku ingin jatuh cinta lagi, aku ingin merasakan perasaan suka dan senang bersama dengan orang lain, aku ingin dengan tenang menjalin hubungan baru, tanpa harus selalu terbayang akan...