Namjoon duduk di atas tempat tidur itu, tidak bergeming ketika Jungkook mengambil jaket dan keluar dari kamar, keluar dari rumah. Dentuman sayup langkah cepat Jungkook tidak juga membuatnya hendak beranjak dari tempatnya sendiri.
Entah apa yang ada di pikirannya, ia merasa Jungkook berhak melakukan itu, melarikan diri dari monster sepertinya.
Apa yang kau lakukan, Namjoon? Tidakkah kau harus mengejar adikmu? Adik barumu itu? Bukankah kau seharusnya memberinya kebahagiaan?
Namjoon tahu itu, ia pun ingin menarik kembali tubuh itu dan melupakan segalanya.
Namjoon tahu benar ia gagal. Ia sudah tahu ia mengambil langkah yang salah. Ia berpikir bahwa dirinya tidak layak untuk mencoba.
Seperti dugaannya, ini tidak akan berhasil. Ia tidak akan pernah bisa meminta maaf dan membalas perbuatan Jungkook padanya dulu.
Karena ia adalah seorang pecundang.
Ia sendirian.
Untuk kesekian kalinya ia kembali sendirian dalam tempat tinggalnya. Suara keheningan meliputi malam di tempat itu.
"Sial," umpatnya dalam hati. Ia mendongak, menatap langit-langit kamar, kamar yang ia siapkan untuk Jungkook.
Dan untuk pertama kalinya setelah waktu yang lama...
Namjoon menangis.
Tetesan air mata menetes, membawanya kembali ke masa lampau. Saat terakhir kali ia menangis.
Tanpa suara air bening itu mengalir bebas dari kedua pelupuk matanya. Tak banyak, tetapi menyakitkan.
Ia sadar akan kesalahpahaman yang telah ia ciptakan kepada Jungkook. Namun ia tidak bergerak untuk memperbaikinya. Dia hanya lelah berusaha.
Mungkin Namjoon menyerah mencoba memperbaiki kesalahannya selama ini, tetapi apakah ia benar-benar menyerah?
Dalam gelapnya malam, dengan langit tak berbintang dan tak berbulan. Langit yang mendung dengan angin dingin yang menusuk tulang.
Di kota yang sama, di kota yang sibuk tanpa istirahat.
Tawa keras seorang takdir yang meremehkan mainannya di bumi terdengar samar.
Tidak, sang takdir belum puas bermain-main. Ia tidak puas dengan kepedihan yang telah ia timpakan pada kedua manusia itu. Dua manusia favoritnya yang ia gunakan untuk bersenang-senang.
Ini
Hanyalah
Awal
Namjoon menghapus kasar air matanya, kain katun lengan bajunya menggesek cepat daerah sekitar matanya.
Ia segera bangkit dari posisinya yang duduk dan keluar dari kamar.
Tanpa perlu ia lihat, ia dapat merasakan jejak seorang Jungkook. Diikutinya itu.
Secara logika ia tidak mengetahui keberadaan seorang Jungkook. Tetapi entah apa yang memandunya, ia berjalan persis ke arah Jungkook berjalan.
Ya, inilah kekuatan seorang takdir.
Melewati trotoar yang sama, ia menembus tenangnya malam. Melewati orang-orang yang sama yang berpapasan dengan Jungkook. Menyusuri jejaknya, arah ke mana Jungkook menghilang.
Hingga ia menemukannya.
Dari jarak yang cukup jauh, dari sebuah gang kecil. Tubuh pemuda itu menghadapinya. Terlihat lesu, putus asa.
Terlihat siap untuk mengakhiri hidupnya.
Namjoon tidak menyalahkan Jungkook. Tidak heran jika ia mungkin berpikir demikian. Ia pun sekarang juga berpikir seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye, Hyung
Fiksi PenggemarJika seorang kakak yang kehilangan adiknya bertemu dengan adik yang kehilangan kakaknya, apakah mereka bisa saling melengkapi? Namjoon dan Jungkook yang sama, tetapi juga berbeda di saat yang bersamaan. Masing-masing hidup dalam ratapan penyesalanny...