Beberapa tahun berlalu seperti angin sejak peristiwa terakhir di acara liburan.
Seongil mengaku dengan takut-takut bahwa kebakaran itu sebagian adalah salahnya karena ia lagi-lagi meletakkan tikar yang sudah digulung terlalu dekat dengan api unggun yang belum sepenuhnya mati. Api itu menyambar ke dapur lantai satu, meledakkan gas dan menyebabkan kebakaran hebat.
Dua kakak beradik yang selamat dari banyak malapetaka tak tumbuh ke manapun selain semakin dekat. Dekat, hingga tak lagi ada yang memisahkan keduanya. Bahkan mungkin takdir yang kejam pun tak lagi ingin mengganggu keduanya, akhirnya menyerah di tahtanya.
Jungkook sekali bertanya pada Namjoon sebelum kakaknya menyelesaikan tahun terakhir masa belajarnya sebelum ia akhirnya menjadi CEO perusahaan.
"Hyung, apa yang harus aku lakukan kalau aku lulus nanti? Maksudku... kalau aku sudah bisa mencari pekerjaan?"
Kepada pertanyaan itu, Namjoon tersenyum kecil.
"Sebelum itu kau harus mencari tujuanmu. Lalu kau mengejarnya," jawabnya kemudian.
Jungkook merendahkan kepalanya, menatap ke tanah di mana kakinya menapak di sana.
"Tujuanku selama ini adalah hyung," tuturnya pelan, hampir kepada dirinya sendiri.
Dan Namjoon menghela napas.
Tujuannya sendiri mewarisi perusahaan ayahnya adalah Jungkook.
"Tidak, Kookie. Jangan dedikasikan hidupmu padaku. Aku tidak layak menerima itu. Dedikasikan hidupmu pada dirimu sendiri dan teruslah bahagia," ucap Namjoon sembari mengusap puncak kepala yang lebih muda. Tidak, Jungkook harus hidup bahagia untuknya sendiri.
Percakapan kecil itu tak pernah bisa Jungkook mengerti.
Ia menyukai banyak hal dalam hidupnya hingga saat ini. Namjoon telah membuka matanya pada berbagai hal kecil maupun besar yang ia lewatkan, lalu membawanya jauh kepada kebahagiaan. Jelas saja, ia tidak tahu apa yang ia inginkan selain hidup bersama dengan kakaknya.
Namun sekarang, kakak tersayang itu disibukan dengan jabatannya yang baru.
Sebenarnya, Namjoon tak pernah absen menghubungi Jungkook satu hari pun. Jungkook harus rela waktu bersamanya dengan Namjoon semakin sedikit, tapi Namjoon tak pernah lupa memberinya perhatian di sela-sela kesibukan pekerjaannya.
Jungkook tak pernah bosan menunggu, tak pernah mengeluh dengan semua itu. Karena ia tahu Namjoon tak pernah meninggalkannya. Ia tahu kakaknya itu sangat menyayanginya.
Pernah satu kali Namjoon pulang sangat larut, hampir subuh. Badannya letih, pikirannya penat karena urusan sambung menyambung dari kantor.
Tapi Jungkook tetap menanti di ruang tamu, mata terpejam lengkap dengan dengkuran halus.
Namjoon sudah berkali-kali bilang pada Jungkook untuk tidak tidur di sana demi sekedar menunggunya, paling tidak ia harus kembali ke kamarnya jika sudah lewat tengah malam.
"Kookie..." gumam Namjoon iba.
"Kenapa kau melakukan itu lagi?" katanya pelan.
Jangan lupakan wajahnya yang memerah menahan haru saat mengatakan itu.
Namjoon berjalan menuju sofa besar di mana Jungkook pulas.
"Maaf, tuan muda. Kami mencoba untuk menyuruhnya kembali ke kamar tidurnya, tapi ia tidak mau dan bersikeras menunggu tuan. Kami juga tidak berani memindahkannya setelah tertidur karena pasti tuan muda Jungkook tidak senang dengan itu," tutur seorang pelayan dengan wajah menyesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye, Hyung
أدب الهواةJika seorang kakak yang kehilangan adiknya bertemu dengan adik yang kehilangan kakaknya, apakah mereka bisa saling melengkapi? Namjoon dan Jungkook yang sama, tetapi juga berbeda di saat yang bersamaan. Masing-masing hidup dalam ratapan penyesalanny...