XVI

2.2K 271 24
                                    

Dengan sendu Jungkook memperhatikan wajah kakaknya yang terlihat letih dan pucat. Dokter baru saja pergi setelah dipanggil ke rumah untuk memeriksa keadaan Namjoon. Percayalah, dokter itu tidak terlihat senang melihat keadaan Namjoon yang lebih parah setelah memaksa pulang dari rumah sakit. Namun karena Namjoon yang masih tetap keras kepala meski ia setengah sadar, Namjoon akhirnya dirawat di rumah setelah kamarnya diperlengkapi dengan tiang infus yang tersambung pada punggung tangannya.

Hari masih pagi. Jungkook belum bersiap-siap untuk ke sekolah walaupun ia sudah mandi. Ia hanya tidak bisa memikirkan sekolah di atas Namjoon.

"Hyung, maaf," sesal Jungkook. Ini sudah kesepuluh kalinya Jungkook mengatakan itu. Ia tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya.

Ditelusurinya wajah penuh memar kakaknya. Ia semakin merasa bersalah mengetahui luka-luka itu adalah hasil karyanya.

"Mianhae, hyung," ucapnya lagi mengeratkan genggamannya pada tangan kakaknya.

Ah, lagi-lagi ia harus melihat pemandangan ini.

"Hyung, ireona..." pintanya memelas. Dibenamkannya kepalanya pada pinggir tempat tidur. Ia tidak bisa menangis lagi.

Namun saat itu juga ia merasakan sebuah tangan yang mengelus lembut surainya. Diangkatnya kepalanya menemukan Namjoon yang menatapnya dengan lemah.

"Hyung..." sebutnya lirih. Air muka Jungkook penuh rasa bersalah membalas tatapan Namjoon.

"Kookie-ya, gwenchana," balas Namjoon pelan.

"Hyung, tapi aku sudah memukul hyung. Lalu aku menuduh hyung melakukan hal yang tidak benar. Lalu aku juga..." Jungkook berhenti di ambang tangis.

"Aku juga..."

Ia ingin mengatakan bahwa ia telah membuat Namjoon kehilangan adiknya, tapi entah mengapa kata-kata itu tak mampu ia sampaikan.

Melihat Jungkook yang kelihatan kacau, Namjoon mengubah posisinya hingga terduduk. Ditariknya adiknya itu dalam dekapan hangat, sama dengan yang ia berikan sebelum-sebelumnya.

"Sudahlah. Lupakan, Kookie. Hyung juga salah. Jangan sedih lagi dan berjanjilah jangan minta maaf soal itu lagi. Arraseo?" tutur Namjoon.

Jungkook tidak menjawab. Ia masih belum merasa dirinya layak untuk dimaafkan begitu saja. Namjoon pun menghela napas panjang.

"Kookie, dengarkan aku. Mari kita lupakan masa lalu itu dan mulai dari awal. Kau dan aku. Kita kakak dan adik. Bagaimana?" tawar Namjoon.

Betapa Jungkook mendambakan hal itu. Dari dasar hatinya ia gembira dengan tawaran itu. Tetapi ia juga tidak merasa ia pantas mendapatkan pengampunan apapun dari Namjoon.

"Kookie, malam kemarin adalah malam yang berat. Aku tidak akan memaksa kau untuk melupakannya atau menganggapnya bagai sebuah mimpi yang tak nyata karena aku juga tidak mempunyai hak untuk itu. Tetapi biarkanlah aku mengajukan satu permintaan padamu, Kookie. Aku ingin kau tidak membenciku dan dirimu sendiri. Aku mau kita bersama-sama memulai lembar baru dan menjadi kebahagiaan baru untuk satu sama lain. Aku tidak akan melakukan ini sebagai penyesalan lagi, maka kau juga tidak boleh melakukan ini sebagai penyesalanmu. Kau sudah memintaku untuk tidak lagi meminta maaf. Kalau begitu, mari kita lakukan bersama-sama. Kita akan berjalan bersama," ujar Namjoon.

Jungkook mengangguk. Ia ingin bersama dengan Namjoon. Setidaknya setelah takdir merebut harta berharga dari hidupnya yang sudah berlalu, ia akhirnya menemukan harta baru baginya untuk ia simpan dan jaga.

"Aku mau menjadi adik hyung!" tegas Jungkook. Namjoon terkekeh mendengarnya. Ia mengusak kepala Jungkook gemas.

Inilah yang Jungkook rindukan. Dia dan Namjoon yang kehilangan mutiara berharga dalam hidup mereka masing-masing akhirnya menjadi mutiara untuk satu sama lain.

Goodbye, HyungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang