Ternyata memang tidak mudah bagi Jungkook untuk mandi tanpa merasakan perih ketika air mengalir turun menggesek lukanya. Namun akhirnya ia menyelesaikan acara mandinya. Ketika ia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos putih dan celana pendek, Namjoon sudah menunggu di depan kamarnya, duduk di atas tempat tidurnya sambil memegang sebuah kotak obat. Kakaknya itu sedang melihat tas baru yang diberikannya untuk Jungkook yang diletakkan di atas tempat tidur. Senyuman lengkap dengan lesung pipinya menghias wajahnya.
"Sudah selesai, Kook?" tanya Namjoon menyadari bahwa adiknya telah selesai membersihkan diri. Jungkook mengangguk, rambutnya masih basah dan handuk masih melingkar di lehernya. "Duduk di sini." perintah Namjoon menepuk pinggir tempat tidur. Jungkook langsung menurut dan duduk di tempat yang Namjoon maksud.
Namjoon mulai mengobati Jungkook. Beberapa luka mulai bengkak sedikit. Tak jarang Jungkook meringis ketika Namjoon menyentuh beberapa memar yang masih terlihat biru.
"Jaga dirimu baik-baik, Kook." begitu ucap Namjoon. "Ne, hyung." balasnya.
Jungkook merintih ketika luka di tangan sebelah kirinya mulai terasa nyeri. "Apa yang Jinra katakan padamu saat kau dipukuli?" Namjoon bertanya secara tiba-tiba. Jungkook terdiam dan membiarkan Namjoon menyingkapkan lengan bajunya untuk melihat lukanya lagi.
"Dia bilang aku... hanya adik angkatmu, hyung. Katanya aku tidak harusnya dekat dengamu. Itu saja, sih." yang lebih muda berterus terang, canggung dengan pertanyaan itu.
Jujur, Jungkook juga tidak dapat menyangkal pernyataan Jinra. Jinra ada benarnya juga. Dia bukanlah adik kandung Namjoon, bukan bagian dari keluarganya. Dia hanya seorang anak yatim piatu yang kehilangan keluarganya dalam satu malam karena kesalahan fatal yang telah ia lakukan pada masa dulu. Dia hanya seseorang yang beruntung bisa bertemu dengan orang baik hati seperti Namjoon, yang mau menerimanya dengan terbuka, mau menjadikannya yang bukan siapa-siapa merasa berharga untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Tetapi di balik semua itu, Jungkook bukanlah siapa-siapa. Tanpa sadar, senyuman kecilnya pudar dan Namjoon melihat hal itu.
"Mungkin benar kau hanya adik angkatku, kau tidak memiliki hubungan darah dengan keluargaku sama sekali. Tapi tidak ada fakta yang melarangku untuk dekat denganmu, kan? Kookie-ya, kau percaya padaku kan?" senyum Namjoon sekilas pada Jungkook. Diraihnya handuk yang bertengger di lehernya dan dihandukinya surai yang belum kering itu. Entahlah, mungkin Namjoon hanya merasa tidak enak membuat Jungkook kehilangan senyumannya.
Jungkook menatap Namjoon dengan kedua matanya yang bulat, tidak menjawab, mungkin merasa tidak layak untuk menerima Namjoon. Bagaimanapun juga, alasan Namjoon mau menerimanya adalah hal yang misterius di benak Jungkook. Mungkin Namjoon bilang ia sudah lama memperhatikan Jungkook, tapi kenapa dia?
Namjoon mengusak surai Jungkook yang masih acak-acakan sambil tersenyum. Diletakannya handuk itu di tempatnya. "Sudah, lupakanlah. Ayo makan." ajaknya disambut anggukan mantap oleh Jungkook.
Mereka berdua turun ke lantai bawah, menuju ruang makan di dekat dapur. "Gomawo, ahjumma." kata Namjoon setelah melihat banyak piring berisi makanan yang tersaji di atas meja makan. Namjoon mengisyaratkan Jungkook untuk duduk di kursi di sebelahnya. Jungkook menurut.
Berpiring-piring makanan tersaji dengan rapih di atas meja marmer putih itu. Mata Jungkook berbinar-binar melihat beraneka ragam masakan yang tersuguh di depannya. Salah satu piring yang agak panjang berwarna putih berisi ayam panggang. Aromanya membuat Jungkook lapar. Di sebelahnya ada steak daging. Semuanya adalah makanan yang jarang bahkan belum pernah Jungkook makan.
"Makanlah, Kook." kata Namjoon ramah. Melihat Jungkook yang malu-malu, Namjoon menjadi gemas. Ia mengambil sepotong ayam panggang dan langsung meletakkannya di piring Jungkook.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye, Hyung
FanfictionJika seorang kakak yang kehilangan adiknya bertemu dengan adik yang kehilangan kakaknya, apakah mereka bisa saling melengkapi? Namjoon dan Jungkook yang sama, tetapi juga berbeda di saat yang bersamaan. Masing-masing hidup dalam ratapan penyesalanny...