BAB 28

402 18 0
                                    

ARFAN membantu Alana untuk keluar dari mobilnya dan mendudukinya di atas kursi roda yang sudah lebih dulu Arfan siapkan, juga dibantu oleh Adrian dan Rangga. Arfan mendorong kursi roda tersebut untuk segera masuk ke dalam rumah.

Wajah Alana terlihat sangat pucat dan lemas. Namun hal itu tidak menutupi kecantikan Alana yang memang sangat alami.

Ketika berada di teras rumah Arfan, Alana mampu melihat dengan jelas terdapat Farel yang berdiri di depan pintu rumah Arfan seraya melemparkan senyum ke arah Alana.

"Farel?" gumamnya nyaris tidak bersuara.

Farel melebarkan senyumnya walau Alana mampu melihat tatapan Farel yang tidak biasa dan terkesan sedang menyembunyikan banyak hal.

"Hai Alana. Boleh bicara sebentar?" tanya Farel menatap Alana dan masih dengan senyumannya.

"Alana butuh istirahat," sergah Arfan sebelum Alana sempat menjawab.

Alana langsung mengusap punggung tangan Arfan pertanda ia meminta izin untuk berbicara sebentar dengan Farel. Kemudian Arfan melepas genggamannya pada kursi roda Alana dan berdiri di hadapan Alana sambil sedikit membungkukkan tubuhnya. "Jangan lama-lama, ya. Lo butuh istirahat."

Alana mengangguk dan melemparkan senyum tipis ke arah Arfan.

Arfan, Adrian, Rangga, dan Maysha pun berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Farel dan Alana yang masih berada si teras.

Farel berjalan mendekati Alana dan berlutut di hadapan Alana untuk menyejajarkan tinggi keduanya agar memudahkan untuk berbicara.

"Apa yang lo rasain sekarang?" tanya Farel menatap nanar wajah pucat Alana.

Alana mengulum bibirnya sekilas dan tersenyum tipis. "Rasanya kayak--mau meninggal."

Farel menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis ke arah Alaba. "Gue ngerti sama apa yang lo rasain."

Meskipun tidak terlalu mengerti, tetapi Alana tetap memilih untuk menganggukkan kepalanya. Alana memerhatikan wajah Farel yang juga tengah memerhatikan wajahnya. Wajah Farel juga terlihat pucat walau tidak sepucat dirinya. Dahi Farel membentuk kerutan samar seolah menahan dirinya untuk mengeluarkan apa yang ada di pikirannya.

"Gue udah tau semuanya, Na." Farel tersenyum sambil pengelus lembut rambut Alana.

Alana mengerutkan dahinya tidak mengerti. Ia berharap, Farel segera memberitahukannya apa yang dimaksud dari perkataannya barusan.

"Arfan ... dia tunangan lo, kan?" Farel tersenyum pahit dan membuat Alana membelalakkan matanya. "Kenapa lo nggak cerita dari awal sama gue?"

Alana menggigit bibir bawahnya. Bingung harus menjawab pertanyaan Farel seperti apa.

"Dari awal emang gue sedikit ragu kalau Arfan adalah sepupu lo. Dari sikap Arfan terhadap lo ... sama sekali nggak menunjukkan kalau dia sepupu lo.

"Dan ternyata memang benar. Arfan bukan sepupu lo. Dia tunangan lo, Alana."

"Maaf," lirih Alana. Alana sangat merasa bersalah entah karena apa. Tapi yang jelas, Alana mampu melihat tatapan kecewa yang dilemparkan Farel.

Namun secepat kilat Farel merubah tatapannya menjadi tatapan teduh dan tersenyum sambil menempelkan jari telunjuknya pada bibir Alana. "Ssstt ... lo nggak perlu minta maaf. Jujur gue emang kecewa sama lo, tapi rasa kecewa itu terkalahkan dengan rasa cinta gue sama lo, Na."

Alana membulatkan matanya seraya dahinya yang berkerut. Alana terkejut dengan pernyataan Farel barusan. Entah mengapa dadanya kembali terasa nyeri.

BianglalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang