7

12.8K 545 52
                                    

“Apakah kau sudah puas, jalang?”

Duar...

Bagai disambar petir, tubuh Lucy mendadak kaku. Satu kalimat tanya yang keluar dari mulut Sean nyatanya mampu membuat tubuhnya menegang. Tidak menyangka bahwa pria yang masih berada di atas tubuhnya kembali mengeluarkan kata-kata kasar sarat akan hinaan.

“A-apa?”

Tanpa menjawab, Sean langsung berdiri dan berbalik pergi bersama sang anjing peliharaan. Meninggalkan Lucy yang masih mematung sendirian.

“Hahaha.” Setelah sekian lama terdiam, Lucy mendadak tertawa kencang. “Jalang katanya? Ya Sean, akan aku tunjukkan seperti apa hebatnya jalang ini. Akan ku buat mulut lancangmu itu tak berhenti menjeritkan namaku.”

**

“Lucy ya ampun. Kau dari mana saja? Aku mencarimu dari tadi.” Setibanya di rumah, Emily langsung memberondong Lucy dengan berbagai pertanyaan. Pertanyaan yang membuat Lucy memutar mata malas.

“Aku lapar.” Mengabaikan pertanyaan Emily, Lucy berjalan menuju dapur. Ya, dia butuh makan untuk mengisi tenaganya agar bisa kembali menyusun siasat. Siasat untuk menaklukkan sang obsesi terpendam.

Emily yang merasa diabaikan hanya menghela napas dalam. Dia sadar sang Nona sedang dalam mood buruk dan dia enggan untuk mengganggu.

Selesai makan, Lucy memilih mandi. Di dalam kamar mandi, dia kembali terlempar pada memori kejadian sebelumnya. Memori tentang betapa rendahnya pria itu memandangnya.

Setelah ciuman panas yang membuatnya melayang ke langit ke tujuh, dengan santainya pria itu menjatuhkannya ke neraka terdalam. Tidak tahukah dia bahwa hinaan itu justru mampu membangkitkan sisi iblis di dalam dirinya yang selama ini tertidur pulas.

Terkekeh pelan, Lucy menggelengkan kepala samar. “Kita  lihat saja nanti, berapa lama kau bisa bertahan dengan kesombonganmu itu.”

Ditempat lain, Sean yang juga sedang mengguyur tubuhnya di bawah air shower memejamkan mata rapat. Masih terekam jelas dalam ingatannya ekspresi terluka Nea saat melihatnya berciuman. Menghela napas lelah, Sean menekan kepalanya yang berdenyut nyeri.

“Aku harus segera menyelesaikan semuanya,” gumamnya samar.


**

Beberapa hari berlalu. Sejak kejadian tak terduga itu, Lucy memilih mengurung diri di rumah. Bukan karena malu ataupun menyerah, hanya saja dia sedang sakit kepala karena teror yang dilancarkan sang penelpon gelap.

Lucy sadar bahwa yang selalu mengganggunya adalah seorang pria yang cukup berbahaya. Terbukti dari pesan-pesan aneh dari nomor yang sama  yang selalu masuk ke ponselnya. Pesan yang mengandung makna yang sama. Makna tentang hak kepemilikan yang orang itu labelkan kepadanya.

Drrrttt....

Ponselnya kembali berbunyi. Masih dengan nomor yang sama. Lucy hanya melihatnya datar, enggan menjawab.

“Kenapa tidak di angkat Cy?”

Terlonjak kaget, Lucy bahkan hampir terjengkang ke belakang saat suara Emily masuk ke gendang telinganya.

“Lucy, apakah aku mengagetkanmu?” Dengan panik Emily berjalan mendekat. Sementara Lucy memegang dadanya kuat pertanda rasa kaget masih menghinggapinya.

“Kapan kau masuk?”

“Baru saja. A-aku sudah mengetuk pintu sejak lama, ka-karena tidak ada jawaban ja-jadi a-aku....”

“Ah sudahlah, lupakan. Ada perlu apa kau mencariku Em?” Seperti biasa, Lucy langsung to the point. Enggan berbelit-belit di saat moodnya masih buruk.

“Ah itu, ada seseorang di luar yang sedang mencarimu.”

“Siapa?” Mengerutkan kening, Lucy kembali bertanya.

“Nea.”

“Oh.” Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya. Membuat kini, Emily lah yang mengerutkan kening.

“Kau tidak berniat untuk menemuinya?”

“Tidak.”

“Tidak?”

“Ya.”

“Ta-tapi dia....”

“Bilang padanya kalau aku tidak tertarik meladeni gadis sok polos sepertinya.” Menarik selimut sampai lehernya, Lucy memilih memejamkan mata. Mengabaikan keberadaan Emily yang masih menatapnya dengan tatapan bertanya.

“Pergilah Em, aku lelah dan ingin tidur.”

Itu adalah kalimat usiran dan Emily menyadarinya.

Membalikkan badan, Emily memilih pergi dqn menyampaikan pesan Lucy ke Nea. Jelas hal itu semakin membuat Nea murka. Dengan wajah merah padam, Nea pergi begitu saja. Membuat Emily lagi-lagi bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi

**

Dua minggu berselang, Lucy masih betah dengan kesendiriannya. Kali ini bukan hanya sang  penelpon gelap yang dia abaikan, tetapi siapa pun yang menelponnya akan mendapatkan perlakuan yang sama, tak terkecuali Jerry sang manager.

“Lucy.” Lagi, Emily tak pernah bosan untuk mengganggunya. Membujuknya agar berhenti menyendiri.

“Hm.” Hanya itu jawaban yang selalu keluar dari mulutnya. Bukannya sok cuek, Lucy hanya sedang malas melakukan apa pun.

“Ayo kita jalan-jalan. Hari ini cuaca sangat cerah. Bagaimana jika kita bersepeda bersama.” Tidak menyerah, Emily kembali berusaha.

“Aku sedang tidak berselera melakukan aktivitas merepotkan seperti itu.”

“Ta....”

“Satu hari, biarkan aku bertahan satu hari lagi.”

“A..”

“Besok aku akan kembali menjadi Lucy yang seperti biasa. Jadi, bisakah kau menunggu satu hari lagi Em?” Tidak membiarkan Emily berbicara, Lucy bersuara cepat. Membuat Emily bungkam.

Menganggukkan kepala tanda setuju, Emily memilih bersabar. Hanya satu hari lagi, batinnya.

**

Keesokan harinya, seperti yang sudah dia janjikan, pagi sekali Lucy sudah lenyap dari kamarnya. Membuat Emily meradang dan uring-uringan. Ya, dia benar-benar kesal.

My ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang