5

14.7K 530 25
                                    

Sinar matahari mulai masuk ke celah jendela, membuat wanita yang tengah tertidur nyenyak terpaksa bangun dari mimpi indahnya.

Mengerjapkan mata, sang wanita meraba tubuhnya. Tersenyum samar, dia mulai mengingat kejadian semalam. Kejadian yang membuatnya harus bangun di kamar asing tanpa mengenakan sehelai pakaian.

Mencoba duduk, seketika sakit di kepalanya langsung menyerang. Membuatnya sontak memegang kepalanya kuat. Kepalanya sakit dan dia jelas tahu betul apa penyebabnya.

"Sudah bangun?"

Melirik ke pojokan kiri, dia baru menyadari kalau sedari tadi sedang diawasi. Seorang pria tengah duduk manis di sana sambil mengintimidasi.

"Apa kau punya air? Kepalaku sakit." Meringis, dia tetap memaksakan tubuhnya duduk sambil merapatkan selimut ke tubuhnya yang masih polos.

"Kau tidak bertanya apa yang terjadi semalam?"

"Tidak penting. Jadi, bisakah kau memberikanku aspirin dan segelas air?" Sang wanita menjawab cuek.

Terkejut, sang pria benar-benar tidak menyangka bahwa wanita di depannya bisa mengeluarkan kalimat yang tak pernah dia duga.

"Cih, pantas dia begitu murka semalam. Ternyata kau memang berbeda." Setelah mengatakan itu, sang pria berangsur pergi. Pergi meninggalkan sang wanita yang tengah mengerutkan kening.

"Siapa Dia yang pria bodoh itu maksud," batinnya.

***

"Nona, apakah anda baik-baik saja? Semalaman saya mencari anda tapi...."

"Diamlah Em, kepalaku masih sakit. Dan bukankah semalam aku sudah menyuruhmu untuk memanggil namaku saja?" Menaikkan satu alis, Lucy sukses membuat wajah Emily kian memucat.

Setelah minum obat dan makan, Lucy memilih pulang sendirian. Dia sedang dalam mood yang buruk, itu membuatnya tidak ingin berdekatan dengan siapa pun. Bahkan dia langsung menolak tegas saat sang pria menawarkan bantuan untuk mengantarnya pulang.

Moodnya kian memburuk saat melihat Emily sudah berdiri di teras rumah dengan wajah pucat pasi. Entah sudah berapa lama gadis lugu itu menunggunya. Bahkan bibirnya sudah terllihat membiru tanda kedinginan.

"Ma-mak-sud saya Lucy." Menunduk, Emily bahkan hampir menangis. Semalaman dia tidak bisa tidur karena mencemaskan sang majikan.

"Aku ingin istirahat. Jangan bangunkan aku. Dan kau, hari ini dilarang keluar rumah." Tanpa membuang waktu, Lucy berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Meninggalkan Emily yang masih mematung dengan mata berkaca-kaca.

***

Keesokan harinya, Lucy memilih berjalan mengelilingi pedesaan sendirian. Samar, dia mendengar suara-suara para wanita.

"Dasar para penggosip," batinnya mendengus kesal.

Saat hendak pergi menjauh, mendadak tubuhnya kaku saat mendengar suara seseorang yang dia kenali. Berbalik, dia memutuskan melihat apa yang sebenrnya terjadi.

"Berhenti menjelek-jelekkan majikanku!" Menjerit, wajah Emily kian memerah. Tidak terima saat sang majikan dihina.

"Cih, kenapa kau marah atas fakta yang benar adanya. Dia memang jalang. Nea sendiri yang bilang padaku kemarin bahwa majikanmu itu menggoda Sean." Wanita berambut merah menjawab sinis.

"Benar, untung saja Sean tidak tergoda. Dan semalam, kau kira kami tidak tahu kalau majikanmu itu juga menggoda Edmund. Wah dasar jalang rendahan, setelah ditolak Sean, dia langsung memburu Edmund." Lagi, wanita lainnya menimpali.

My ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang