10

10.1K 585 67
                                    

"Dimana dia?" Dengan wajah tegang menahan amarah, sang pria bertanya tajam. Membuat ketiga tubuh manusia di hadapannya kian gemetar. Menyadari tak ada suara yang menjawab pertanyaannya, sang pria semakin murka.

"Aku memilih tempat ini beserta kalian karena aku tahu dia aman di sini, bukan malah sebaliknya." Mendesis, aura mematikan kian menguar dari tubuh tegapnya.

"Tu_tuan. Ka__"

"Di mana dia!" Naik satu oktaf, suaranya kian mengerikan. Emily yang sejak tadi hanya menundukkan kepala dalam sudah mulai terisak pelan.

Menarik nafas dalam, sang pria menutup mata sebentar. Menenangkan rasa panas di dadanya yang kian bergejolak.

"Kalian tahu," jeda sejenak, memicingkan mata, dia semakin terlihat berbahaya, "mungkin bagi Jerry dia hanya seorang atasan biasa. Beda halnya denganku. Karena bagiku, dia adalah alasan utama."

Semakin menyipitkan mata, suaranya kian mendesis tajam, "Alasan utama untuk begitu berhasrat membunuh seseorang. Jadi, sebelum aku semakin hilang kesabaran, cepat cari dia dan bawa pulang. Aku tunggu sebelum jam makan malam."

Setelah mengatakan hal itu, dia berbalik pergi. Meninggalkan tiga manusia yang sejak tadi gemetar dengan wajah pucat pasi.

"I-ibu a-aku takut." Dengan terisak, Emily bersuara sambil memeluk tubuh ibunya kuat. Sang ayah yang tak lain adalah Josh Ranweld hanya menghela napas dalam. Sama sekali tak membantu menenangkan sang anak dan istrinya.

"Anna, kau bawa Emily ke kamar. Setelahnya masakkan makanan kesukaan Mr. Bellucci. Aku akan pergi mencari Miss. Blackstone."

"Tapi..."

"Diamlah Emily, kau jelas tahu bahwa Mr. Bellucci lebih dari sekedar mampu untuk sekedar meratakan desa kecil kita ini. Jadi, sebaiknya kita tidak semakin memancing emosinya."

Setelah mengatakan itu, Josh pergi meninggalkan istri dan anaknya yang masih terisak. Tak dapat dia pungkiri bahwa si sulung Bellucci yang tampak ramah dan bersahabat itu mampu berubah menjadi pembunuh berdarah dingin jika dalam suasana hati buruk.

Dan dia sudah melakukan kesalahan besar dengan membuat suasana hati sang majikan buruk akibat ketidak pekaannya. Seharusnya sejak awal dia sadar bahwa wanita yang tuannya bawa itu bukanlah wanita sembarangan.

Sejak awal, seharusnya dia lebih peka. Seharusnya dia menjaga sang wanita tuannya dengan sangat baik bagaikan seorang ratu. Bukan malah diam dan mempercayakan semuanya kepada anaknya Emily.

Menghela napas dalam, Josh menatap ke langit yang mulai gelap. Berdo'a semoga dia dan keluarganya bisa selamat hingga esok menjelang.

***

Di lain sisi, setelah mendengar bahwa sang manager akan datang, Lucy kian meradang. Bukannya senang, dia malah semakin kesal. Dia jelas tahu seperti apa sang manager psycopath nya itu. Bukannya membantu, sang manager justru akan semakin mengacaukan segalanya.

Hari sudah mulai gelap, entah sudah berapa jam dia melamun di tepi danau. Untung otak pintarnya masih bekerja normal dengan membawa begitu banyak makanan dan minuman di dalam tas, sehingga dia tidak perlu kelaparan karena enggan pulang untuk makan.

Ponselnya sudah mati kehabisan daya sejak tadi. Dan menurutnya itu jauh lebih baik. Dia tahu bahwa Jerry sudah datang dan sekarang sedang memaki-maki dirinya yang tak kunjung pulang.

Menaikkan bahu malas, Lucy benar-benar tak ingin pulang. Mau bagaimana lagi, dia masih enggan. Enggan untuk berbagi segala rasa asing yang sekarang kian menyakitkan.

"Nona!"

Membalikkan badan, Lucy menajamkan mata ke objek suara.

Hantukah? batinnya

"Nona!" Kembali, suara itu kembali menyapa indra pendengarannya. Semakin lama, sosok itu semakin jelas. Menghela napas berat, Lucy tahu ada bencana yang tengah melanda.

"Nona, a-ayo kita pulang. Tu-an_ tu-an..."

"Oh ayolah. Tarik napas perlahan dan hembuskan. Tarik lagi...."

"Nona, tolonglah..." Berlutut, sang pria yang tak lain adalah Josh menangis sambil berlutut di kaki Lucy.

Terkejut, untuk beberapa detik Lucy hanya diam mematung. Berbagai macam kemungkinan buruk langsung bersarang di kepalanya.

"Hei, Mr. Ranweld, ada apa? Jangan begini, berdirilah."

Menggeleng tegas, pria paruh baya itu masih betah dengan posisi berlutut dan tangisan pilunya.

"To-long nona. Tolong pulang. Saya mewakili istri dan anak saya minta maaf kalau ada salah. Ta-pi nona jangan begini, jangan pergi dengan cara seperti ini. Kami__"

Memutar mata malas, Lucy tahu pasti ada kesalah pahaman. Mendekat, dia mencoba mengangkat sang pria tak berdaya di hadapannya agar berdiri.

"Kalian tidak salah dan aku tidak pernah berniat pergi. Jadi bangunlah sebelum aku benar-benar marah."

Deg....

Meski enggan, nyatanya kalimat Lucy barusan mampu membuat wajah Josh kian memucat. Refleks dia langsung berdiri tegak, membuat Lucy tersenyum puas.

"Nona, saya__"

"Iya aku tahu." Kembali Lucy memutus perkataan pria di depannya, lagi.

"Lalu, hal penting apa yang membuatmu nekat datang ke sini mengganggu waktu damaiku?" Jeda sesaat, tersenyum manis, Lucy kembali menambahkan, "dan jangan lupakan wajah pucat dan mata merah itu Mr. Ranweld."

Meski wanita di depannya berbicara lembut dan tersenyum manis, tapi Josh tetap merinding. Wajahnya yang sudah pucat semakin tak terselamatkan.

Jika tadi dia seakan melihat dewa kematian yang bertanya dia ingin mati dengan cara apa, maka sekarang dia seolah sedang melihat ratu kegelapan.

Ratu kegelapan yang sedang tersenyum manis di hadapannya sambil bertanya neraka mana yang ingin dia tinggali.

Menggelengkan kepala kuat, dia mengusir semua pemikiran tak masuk akalnya. Memberanikan diri, dia kembali bersuara.

"Mr. Bellucci sudah menunggu anda dari tadi. Dia datang dengan amarah dan__"

"Ah bajingan itu. Aku pikir ada hal yang lebih penting dari sekedar Jerry. Kau__"

Menggeleng kuat, Josh membuat lucy mengerutkan kening dalam.

"Kenapa? Jujur, kau membuatku takut."

"Nona memang harus takut."

Menaikkan satu alis, Lucy semakin penasaran.

"Karena bukan Mr. Jerry Bellucci yang datang."

Memiringkan kepala, Lucy diam mendengarkan. Dan jantungnya seakan berhenti berdetak saat mendengar kalimat yang di lontarkan Josh selanjutnya.

"Tapi Mr. Michael Belluci lah yang datang."

***

Tbc,

Saya tahu kalau saya terlalu lama bermeditasi.

Terlalu banyak hal yang harus saya prioritaskan saat ini. Dan saya tidak menuntut agar kalian mengerti.

Bagaimana jika kita buat pengaturan.

Saya akan update jika vote mencapai 250 dan akan selalu bertambah 50 vote setiap chapternya.

Setuju? Harus setuju dong.

Jika tidak ya saya tidak janji kapan bisa update lagi.

Dan untuk kamu yang mengenal saya di kehidupan nyata, bisakah diam dan jangan membuat saya jantungan?

Terimakasih bagi kalian yang selalu setia dan tidak pernah menyerah untuk menunggu saya yang suka lupa dan mengabaikan cerita absurd ini.

C.U next chap...


My ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang