Pesantren

6.5K 665 21
                                    

Mentari datang seperti kebiasannya. Awanpun bergerak seperti seharusnya. Angin menggoyangkan apapun yang dilewatinya seperti tugasnya.

Gerbang tinggi kokoh itu ditatap begitu lama oleh seorang anak remaja.
Matanya terlihat kosong. Seolah dia melihat dunia lain tapi diharuskan tetap masuk.

Ayahnya turun dari mobil beserta bundanya yang menggeret koper berisi keperluan anaknya.

"Kenapa kamu mematung disana? Mau melarikan diri?" Tanya Ayah tajam.

Sedari tadi Raiz memang menatap gerbang tinggi pesantren yang tertutup. Raiz menggeleng pelan lalu menghela nafas.

Bundanya menepuk bahunya dan menggiringnya melangkah ke rumah pemilik pesantren ini yakni keluarga Sidiq.

Abi, sesepuh pesantren ini menyambut di teras rumahnya. Umipun datang dari dalam dengan senyum hangatnya.

"Farhan dan Rahma. Anakku. Ayo masuk." Ujar Abi.

Raiz mengikuti langkah kedua orang tuanya. Merekapun duduk di kursi. Tidak berselang lama datang seorang wanita cantik bercadar. Istrinya ustadz Ihsan. Raiz mengenal wanita ini.

"Kei, Ini Nak Farhan sama Rahma mereka teman dakwahnya suamimu." Umi memperkenalkan.

"Assalamualaikum. Saya Keira." Ujar Kei dengan suara begitu lembut.

"Wa'alaikumussalam. Maaf  kami tidak datang ke pernikahan kalian. Kebetulan ada undangan diluar kota saat itu." Ujar Farhan Ayahnya Raiz.

Keira menanggapi dengan anggukan maklum. Keira sudah duduk di kursi samping Abi. Abi langsung mengusap kepala menantunya.

"Ihsan masih di pesantren. Pagi begini biasanya dia repot." Ujar Abi.

"Ini Raiz?" Tanya Umi.

Raiz hanya mengangguk.

"Jadi anakmu pesantren disini? Alhamdulilah jika begitu." Abi bersuara.

Abi melihat seksama Farhan. Mata senjanya seperti mengetaui perihal ketegasan Farhan dalam mendidik anaknya.

"Sebagai orang tua jangan jadi orang yang merasa lebih tahu tapi jadilah yang lebih memahami. Masa kita dahulu beda dengan masa mereka kini "Didiklah anak - anakmu itu berlainan dengan keadaan kamu sekarang; karena mereka telah dijadikan Allah untuk zaman yang berbeda."

Farhan mengangguk dengan senyuman mantap.

"Kami selalu mencoba untuk itu Abi, Dunia luar sekarang terlalu mengkhawatirkan untuk membiarkan anak kita lepas tanpa pengawasan. Jika di pesantren setidaknya mereka bisa terawasi."

Abi mengangguk. Umi, keira serta Rahma bundanya Raiz hanya mendengarkan dengan seksama. Sedangkan Raiz sedari tadi dia hanya diam.

"Siapa namamu nak?" Tanya Abi.

"Muhammad Raiz." Jawab Raiz seperlunya.

Abi tertawa. Entah dia menertawakan apa.

"Sepertinya ini bukan gayamu, Anakku Ihsan bahkan suka sekali menasehati Abi balik. Abi juga hanya manusia biasa yang kadang tidak luput dari kesalahan. Menjadi orang tua yang kadang menyebalkan. Untung ada anak Abi yang selalu mengingatkan."

Abi berdiri,
Menghampiri Raiz. Menarik bahunya agar berdiri.
Setelah itu menepuknya keras. Mata itu menatap sorot mata Raiz yang seperti tersiksa.

"Abi, akan mengajaknya keliling, Umi, Kei. Titip tamu kita dulu."

"Farhan. Anakmu saya pinjam dulu."

"Dengan senang hati Abi."

Ayahnya Raiz mempersilahkan.
Raiz sekarang berjalan beriringan dengan Abi. Muhammad Sidiq sesosok lelaki yang begitu dihormati tapi lihatlah sekarang, dia ber jalan sambil merangkul bahunya seperti rekan.

Found You #ZahRaizTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang