Pelik

5.6K 654 50
                                    

Angin berdesir - desir menerbangkan apa saja yang di lewatinya. Menemani langkah gontai seorang pemuda. Terik matahari tak dia indahkan hari ini, Mendengar permohonan ketua asramanya juga orang yang begitu dia hormati menyentakan kesadarannya hari ini.

Dia meminta waktu untuk berpikir. Merenungkan baik - baik apa yang di harapkan kepada dirinya. Langkahnya lemah saat tahu syeikh Abdullah sedang melakukan kunjungan dakwah di tanah eropa.

Hatinya tak tentu arah. Dia bingung harus melakukan apa dan seperti apa.
Mengingat jauh keluarganya di Indonesia. Sahabatnya juga kekasih hatinya. Membuat dia hanya bisa menghela, menggambar semua wajah itu dalam hamparan pasir yang terserak.

Teman - teman yang lainnya sudah sebagian meninggalkan Mesir karena mereka sudah selesai tapi tidak dengan Raiz ada harapan lagi dari orang - orang di sekelilingnya kepadanya.

"Ilahi apakah seperti ini rasanya? Jika menempatkan seseorang yang belum halal untukku di hati? Merasakan gundah tanpa sudah."

Sungai Nil yang bening membuat mata Raiz berkaca-kaca. Siang ini Raiz kembali kesini untuk sekedar diam berbagi cerita dengan bumi Mesir ini.

Begitu lama Raiz disana karena pulang ke asrama sudah hampir maghrib. Selesai maghrib dia membuka email dari para sahabatnya, soal apa yang di tanyakan tadi kepada mereka.

"Kami terserah padamu, Terserah imanmu Rai. Dirimu yang lebih tahu." Ketiga sahabatnya hampir sama kesimpulannya kesana. Tidak ada Zahra dalam perbincangan mereka lewat email.

Satu email masuk dari ustadznya Ihsan. Terdiam sebentar Raiz sebelum membacanya.

'Anakku Raiz, Aku tak bisa membuat keputusan yang banyak atau memilihkan pilihan untukmu. Semua jawaban itu ada di dirimu. Pertimbangan itu hanya engkau yang paling mengetahui. Ustadz tidak tahu posisi Zainab di sisimu begitupun Zahra di hatimu. Yang aku tahu mereka perempuan yang terdengar dari ceritamu selalu berusaha menjaga diri mereka dengan baik.
Istikharahlah, minta petunjuk pemilik jiwamu.'

Setelah mengalami malam yang panjang lewat sujud-sujud khusyuknya. Paginya Raiz langsung bergegas menuju kediaman keluarga Rasyid. Imran menyambutnya dengan mata berbinar.

Di persilahkan Raiz duduk. Tak sabar Imran mendengar keputusan Raiz.

"Saya akan menikahi putri paman." Raiz berujar mantap.

Imran berbinar penuh kebahagiaan dan langsung memeluk Raiz dengan erat.

"Aku yakin kamu tak akan setega itu nak. Jazakallahu khair."

Raiz mengangguk. Imran dan istrinya menyiapkan untuk pernikahan yang akan di laksanakan lusa. Raiz menemui Zainab yang terbaring lemah. Kesadarannya hilang. Dengan di temani pembantu keluarga Rasyid. Raiz berdiri di samping ranjang.

"Zi, kamu mendengarku. Maafkan aku yang membuatmu jadi seperti ini. Ini salahku juga, yang tak mampu menjaga diriku sendiri sehingga membuat seorang perempuan merana. Bangun Zi, Lusa kita akan menikah." Ujar Raiz lembut.

Mata Zainab bergerak - gerak ingin bangun tapi kelopak matanya masih terasa berat untuk di buka. Raiz tidak menyalahkan siapapun bahkan Zainab.

Dia menyalahkan sepenuhnya kepada dirinya sendiri di karenakan ada perempuan yang berharap begitu tinggi kepadanya.

"Aku kurang menjaga batasku dengan seorang perempuan." Ujarnya.

Found You #ZahRaizTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang