Arah

5.8K 673 25
                                    

Awan bergerak tak tentu arah. Angin menerbangkan apapun tanpa mengenal arah. Pagi hari dimana suasana menjadi berbeda tanpa ada istrinya di sisi. Raiz tetap tinggal di kediaman Rasyid. Kedua orang tua Zainab tidak membiarkan dia kembali ke asrama.

"Kami ini adalah orang tuamu, kami tak memiliki siapapun lagi selain Zainab." Ujar Imran saat melihat Raiz akan meninggalkan rumah itu.

"Aku tidak akan terus berada disini, kehidupan ini membuatku malu jika aku terus berada disini."

"Sampai selesai S2mu baru kami ijinkan meninggalkan rumah ini." Ujar Imran tak mau dibantah.

Raiz hanya mampu menghela menatap fajar yang bersinar terang di ufuk timur sana. Dia melihat kamar ini yang begitu sepi. Jejak istrinya masih jelas terekam dalam ingatan.

Raiz membuka laci meja dimana istrinya senang duduk berlama - lama disana. Terdapat buku harian yang halaman depannya tertulis huruf Z.

"Untukmu yang berawalan huruf yang sama denganku, Maaf telah merusak sebuah angan yang seharusnya baik-baik saja."

Tulisnya dengan tulisan yang goyang. Istrinya itu fisiknya lemah. Kehadiran Raiz tidak mampu membuat penyakit itu menjadi lebih baik, hanya Zainab kembali menemukan keimanannya tanpa terduakan oleh apapun.

"Zi, Sedang apa kamu di alam sana? Semoga Allah menjadikan keridhoanku menjadi tempat yang lapang di alam kubur sana."

Raiz membuka laptopnya. Menatap getir ratusan email yang tidak pernah dia kirimkan. Hati ini masih berdenyut seperti biasanya. Tak berubah sedikitpun.

"Selalu aku sesali bahwa hatiku tetap di peruntukan untuknya. Semoga Allah tidak marah kepadaku karena ini, disaat ada istri yang baik di sampingku kala itu."

"Zi, Aku hanya pemuda egois jika perihal perasaan. Maafkan aku belum mampu menjadi suami yang baik untukmu."

Raiz berujar seorang diri. Mau bagaimanapun kehilangan dan penyesalan itu selalu ada. Walaupun mereka hanya enam bulan menikah tapi detik dan menit itu mereka lalui bersama-sama.

Raiz berdiri. Dia harus menentukan arah langkahnya kembali tanpa membiarkan harapan kepada manusia menjadikan hatinya sempit dalam mendefinisikan sebuah cinta.

Raiz bergegas turun dan pamit untuk kuliah, tenggelam kembali dengan kesibukannya sebagai mahasiswa yang sedang mengambil S2nya.

Di tengah-tengah kesibukan kuliahnya. Dia selalu menyempatkan waktu mengunjungi Rahman yang baru mengajukan S2 bareng dirinya. Dia tinggal di Mesir beserta istrinya dan memiliki pabrik pembuatan tempe. Kemarin pabrik ini hampir bangkrut. Lewat bantuan dana dari Raiz pabrik ini beroperasi kembali.

"Aku akan membantu memasarkan. Jika aku ikut dakwah bersama Syeikh Abdullah. Aku mau bawa beberapa dan dibagikan kepada jama'ah disana."

"Ide bagus itu Raiz. Saya sangat bergantung kepada kejeniusanmu dalam berbisnis seperti kepintaranmu dalam memahami ilmu."

"Aduhh Kang, Saya bukan apa - apa. Kepintaran ini hanya do'a ustadz saya yang di kabulkan Allah. Maka saya pergunakan sebaik-baiknya yang tentu harus di jalan Allah."

Raiz tekun mempelajari bisnis. Dulupun Rasulallah seorang pedagang yang cerdas. Dia selalu menanyakan sistem yang benar kepada Ihsan menurut Al -qur'an dan hadits lalu kepada Sahabatnya Ardi yang sudah duduk di kursi tinggi di perusahaan milik keluarganya.

"Jika kamu memerlukan apapun, katakan padaku Rai. Aku akan siap membantumu." Ujar Ardi.

Mungkin ini salah satu keberkahan Allah. Satu tahun dia merintis usaha ini bareng Rahman. di tahun disaat Raiz menyelesaikan S2nya dengan nilai gemilang. Tempe produksi mereka mulai dilirik konsumen asing dimana tempe bisa dijual oleh mereka menjadi dolar.

Found You #ZahRaizTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang