Sepanjang Hidup

14.4K 1K 71
                                    

Disaat pekat mendominasi. Di saat dingin menguasai. Hening mengintrogasi. Lelap menjadi sebuah pilihan dengan selimut melilit tubuh memberikan kehangatan bagi diri.

Di sepertiga malam yang banyak diberikan abai. Di dini hari yang banyak dilewatkan. Ada rengkuhan Rahimnya yang ditelantarkan. Ada ribuan do'a yang tepat kepada sasaran saat diadukan di waktu mentari masih terlelap dalam selimut tebal malam.

Mata seorang pemuda terbuka. Mengerjap-ngerjap memulihkan kesadaran. Dia duduk. Mengusap wajahnya tiga kali sambil mengucapkan do'a bangun tidur. Dihembuskan nafas dari hidung tiga kali. Lalu melihat samping ranjangnya yang sudah terisi.

Bergerak tanganya membangunkan istrinya dengan lembut. "Sayang, Bangun." Bisiknya ditelinga sambil sesekali mengecup pipinya lembut.

"Mas, Jam berapa?" Tanyanya sambil menggeliat dengan mata yang menyipit menatap suaminya.

"Setengah tiga."

Istrinya itupun bangun dengan rambut yang acak-acakan. Raiz tersenyum geli sambil merapikan anak-anak rambut yang keluar dari tempatnya.

"Mas, jangan cium-cium dulu. Zahra masih bau iler gini." Omelnya sambil memukul pelan lengan suaminya.

"Wangi kok, Wangi surga."

"Ishhh gombaaaall..Ya Allah." Pekik Zahra sambil mengacak-ngacak rambut suaminya.

"Wudhu Mas, Ayoo!." Ajak Zahra sambil menarik tangan suaminya. Merekapun bergantian berwudhu. Setelah itu Zahra menggelarkan sajadah untuk suaminya.

Di saat pengantin baru itu tenggelam dengan shalat malamnya. Tenggelam kepada kekusyukan dengan Rabbnya. Langit bergulir mulai memperlihatkan sinar-sinar di ufuk timur.

Setelah shubuh mereka memperpanjang duduknya dengan dzikir. Di saat seberkas cahaya mulai terlihat. Raiz berbalik dan bersila dihadapan istrinya.

"Selamat pagi, istriku. Penggenap jiwa dan separuh agamaku."

"Pagi, Mas."

Zahra kembali berdiri. Membereskan mukenanya.

"Zahra mau buatin sarapan dulu."

Raiz mengangguk. Kembali dengan duduk panjangnya mengulang-ngulang kembali hapalannya. Zahra turun. Mereka tinggal di kediaman orang tua Zahra di Bandung.

"Pagi. Um. Masak apa?" Tanya Zahra langsung mengambil celemek dan memakainya.

"Nasi goreng ala-ala umi buat menantu ganteng Umi."

"Cieeee. Menantu ganteng. Iya gitu?"

"Iya. Temen-temen pengajian umi padi bilang gitu."

Pernikahan mereka baru berjalan satu bulan. Zahra merasakan manisnya masa-masa awal pernikahan itu. Belum selesai sarapannya dibuat Raiz sudah turun dengan masih menggunakan sarung dan baju kokonya. Kopiah sudah tak ada di kepalanya.

"Indah sekali pagi ini. Keindahan pagi kalah di saat melihat Ibu mertua dan istriku bersatu padu."

"Mas, tunggu di meja makan aja atau samperin Abi yang sedang ngasih makan ikan di halaman belakang."

Raiz mengangguk. Dia kembali menghilang dari jangkauan mata Zahra. Setelah selesai menghidangkan sarapannya, Zahra kembali mencari suaminya.

Di halaman belakang dua lelaki yang amat berharga di hidupnya sedang terlibat obrolan yang asyik. Duduk di samping kolam ikan begitu akrabnya.

"Kamu akan kembali ke Mesir?"

"Iya Abi, Raiz udah bicarain sama Zahra. Kita akan tinggal di sana. Usaha Raiz juga di sana."

Found You #ZahRaizTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang