Kumandang adzan maghrib terdengar pilu ditelinga seorang remaja. Warna jingga sudah pudar bergantikan langit yang mulai pekat. Semilir angin yang akan berubah dingin menyapa wajahnya yang masih basah oleh air wudhu.
Raiz menatap langit, seolah disanalah tempatnya seharusnya tinggal. Diluar gerbang ini. Dia menghela lalu masuk kedalam mesjid untuk shalat berjama'ah.
Selesai shalat semua santri dan santriwati duduk untuk mendengarkan tausiyah singkat dari pimpinan pesantren. Ihsan naik keatas mimbar. Matanya menatap satu persatu santri lelakinya karena santriwati hanya bisa mendengar suara Ihsan saja.
"Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh anak - anakku."
Semua santri menjawab serempak salam pimpinan pesantrennya itu. Walau Ihsan masih muda tapi pancaran pemahaman ilmu terlihat jelas sekali dalam perilakunya sehari - hari.
“Setiap manusia pada hakekatnya adalah pemimpin …”[HR Muslim]. Ujar Ihsan membuka tausiyahnya.
Mata teduhnya menyapu mata - mata santri didikannya.
"Kalian para pemuda penerus kehidupan. Dengarkanlah oleh telingamu lalu tanamkan dihatimu. Bahwasannya kalian ini penerus langkah - langkah para pendahulu kalian. Mengemban tanggung jawab yang sama besar terhadap peradaban islam di muka bumi. Jadilah pemimpin - pemimpin yang tangguh. Ada nilai - nilai syariat yang harus kalian tanamkan disetiap sisi hidup ini."
Mata Raiz terfokus menatap pimpinan pesantren didepannya. Matanya terlihat berbinar memperlihatkan pemahamannya yang begitu baik perihal dunia dan seisinya ini.
"Kamu sekalian adalah pemimpin. Bagi kehidupan juga bagi diri kalian sendiri. Sering - seringlah memahami dirimu sendiri karena sesungguhnya dalam tubuh setiap insan selalu ada peperangan yang amat dahsyat setiap hari. Jika kamu sekalian lengah untuk mengerti, terpelesetlah kalian dalam nafsu kehidupan yang menggerayangi pikiran dan nurani."
"Kalian disini, menimba ilmu, membentuk karakter sendiri - sendiri. Jangan hanya terpaku soal tindakan nyata jika untuk menjadi pemimpin untuk diri kalian sendiripun tidak mampu. Bertahanlah disini. Belajar untuk memahami berbagai sudut pandang kehidupan dengan bekal nilai islam yang akan membawa langkahmu untuk berdiri kokoh untuk menjadi cikal bakal pemimpin di masa yang akan datang."
Suara Ihsan lantang, tegas. Menyalakan semangat pada hati - hati para santrinya. Raizpun terlihat mengagguk. Bahwasannya sebelum dia pergi untuk berdiri diatas keyakinannya harus ada bekal yang mumpuni.
"Begitupun untuk para santriwati. Kalian semua calon ibu. Madrasah pertama untuk anak - anak kalian. Rumah untuk suami - suami kalian. Bertahanlah untuk menimba ilmu. Bentuk karakter kalian sendiri untuk menjadi pribadi yang mengagumkan bagi anak - anak kalian nanti yang akan menjadi penerus bagi kalian kelak dan yang akan memegang peradaban yang akan datang."
"Bertahanlah, menuntut ilmulah serta tancapkan ketaqwaan itu dalam hati kalian dalam - dalam. Itulah senjata kita untuk melangkah menerjang semak belukar kehidupan yang sesungguhnya."
"Jangan sia - siakan waktumu. Karena waktu tidak pernah menunggumu untuk berjalan beriringan. Kita yang bergerak. Kita yang mengejar. Semangatlah." Suara Ihsan lantang.
Setelah itu dia mengukir senyum teduhnya. Mengucapkan salam lalu turun dari mimbar. Tidak berapa lama terdengar suara indah pimpinan pesantren itu adzan untuk memberitahukan panggilan dari sang maha kuasa.
Setelah Isya semua santri bubar. Raiz menunggu Ihsan, dia ingin berbicara dengan Ustadznya itu.
Lama, Raiz menunggu di pelataran masjid tapi Ihsan tak kunjung keluar.
Mang Parjo keluar terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Found You #ZahRaiz
Espiritual[COMPLETED] Muhammad Raiz seorang anak muda yang mengaku dirinya sebagai anak munafik di keluarganya. Zahra Nurazizah seorang perempuan shalihah yang mondok dipesantren. Dikejutkan dengan pertemuannya yang tiba-tiba dengan lelaki yang jauh dari eks...