Feather 8

2.5K 19 6
                                    

“Sudah lengkap?” tanya Hiro sambil memandang Kirika dan teman-temannya.

            “Belum. Risako masih di jalan katanya,” jawab Kirika sambil memencet-mencet tombol handphone-nya.

            Mereka duduk di dekat pintu masuk bandara sambil mengobrol, sampai akhirnya Risako datang sambil berlari dengan tas ransel yang cukup besar di punggungnya.

            “Maaf, maaf...!! Aku bangun kesiangan tadi,” Risako lalu mengamit tangan Kirika, kemudian mereka masuk ke dalam untuk check-in.

            Kirika merasa risih kembali saat Risako menggandeng tangannya. Rasanya tidak enak dilihat orang. Shige juga seperti mengerling ke arah Kirika, yang berarti ‘biarkan saja’. Untungnya, posisi duduk mereka di pesawat tidak begitu ‘berbahaya’. Dari ujung kiri, Risako, Yamada, Shige, lalu di kursi tengah Kirika dan Hiro.

            Akhirnya mereka sampai di bandara Hokkaido dan supir Hiro sudah menunggu di pintu kedatangan. Segera saja mereka masuk ke mobil dan perjalanan ke villa pun dilanjutkan.

            “Ki-chan, rumahmu juga di daerah sini kan?” tanya Risako.

            Mendengar itu, semua teman yang lain memalingkan muka dan menatap Kirika.

            “Iya...”

            “Kalau dekat dari villa Hiro-sempai, mau mampir ke sana tidak?” tanya Risako lagi.

            “Hmm... Lebih baik hari terakhir saja deh, sepertinya mama masih di Okinawa. Di rumah cuma ada paman...”

            “Ooh...”

            Sepanjang jalan yang sudah tertutup salju, masing-masing orang mempunyai pikiran sendiri yang berkelumit. Tanpa disadari, akhirnya mereka sampai di depan villa dan mereka mulai menurunkan barang-barang.

            “Kirika dan Risako tidur di lantai satu, yang laki-laki tidur di lantai dua. Kamarnya ada dua di lantai dua, jadi kalau sempit bisa pisah,” Hiro menjelaskan sambil membawakan tas Kirika.

            “Wah, villanya besar yah!” Risako terkagum-kagum saat naik tangga.

            “Iya, tapi sudah lumayan tua sih. Sejak zaman kakekku masih kecil sudah ada,” Hiro mengeluarkan kunci dari sakunya dan mulai membuka pintu kamar itu.

            Kirika cepat-cepat melihat ranjangnya, dan seketika itu juga hatinya merasa lega karena ternyata ranjangnya dipisah. Kebayang deh kalau sepanjang malam Risako menempel sama Kirika. Tidak akan bisa tidur sepertinya.

------------------------------------------

            Malam itu mereka lalui dengan tenang, setelah makan malam dari pesanan restoran terdekat, mereka semua duduk bersama di ruang tamu dan main kartu. Penghangat ruangan membuat ruangan itu hangat dan tentram. Sesekali gelak tawa terdengar, terkadang suasana menjadi hening saat mereka sibuk menyusun kartunya. Jam menunjukkan pukul setengah dua belas ketika akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat.

            Kirika dan Risako masuk ke kamar setelah menggosok gigi.

            “Eh, perasaan kamar kita agak remang-remang yah... Jangan-jangan ada penunggunya. Selain itu villa ini kan sudah dari zaman kakek Hiro, jadi mungkin saja nanti ada penampakan...” Risako mengamat-amati langit-langit kamarnya saat masuk ke selimut.

            Kirika bergidik mendengar kata-kata Risako. Sejak kecil Kirika memang takut dengan hal-hal yang berbau mistik. Belum lagi suasana kamar mereka yang memang agak gelap dan jendela kamarnya hanya tertutup gorden putih tipis yang bergoyang perlahan karena tertiup udara hangat dari pemanas ruangan.

            “Sudah ah, jangan membicarakan hal-hal yang seperti itu,” Kirika meringkuk di balik selimutnya, berusaha untuk tidak memikirkannya.

            “Bercanda kok. Kenapa? Takut ya? He he he...” Risako jadi ingin menggoda Kirika yang sekarang menyembunyikan kepalanya di balik selimut.

            “Tidak kok! Siapa yang takut?!” Kirika semakin gelagapan karena khawatir Risako tahu bahwa dia takut kepada hantu.

            “Hah?!! Ki-chan, ada apa itu di dekat kasurmu??!” Risako memekik seolah-olah terkejut melihat sesuatu, padahal wajahnya jelas-jelas menahan tawa.

            “KYAAAA...!!!” Kirika berteriak dan menarik selimutnya semakin ke dalam.

            “Ha ha ha ha...!” Risako tertawa terbahak-bahak, sementara di luar terdengar suara orang berlari-lari mendekati kamar mereka.

            TOK! TOK! Terdengar suara ketukan di pintu.

            “Kirika, ada apa?” Hiro membuka pintu dan melangkah masuk diikuti Shige dan Yamada.

            “Oh, dia cuma ketakutan, tadi aku cerita seram trus dia berteriak,” jelas Risako.

            “Ya ampun, kukira ada apa... Ya sudah, aku kembali ke kamar ah,” Yamada melangkah dengan enteng keluar kamar, sementara Hiro mendekati tempat tidur Kirika dan menarik perlahan selimutnya. Kirika yang merasa malu tidak bisa berkata apa-apa. Wajahnya sangat merah dan sepertinya tadi dia kehabisan napas di dalam selimut.

            “Sudah, tidak ada apa-apa kok. Risako kan cuma bercanda...” Hiro mengelus lembut rambut Kirika yang berantakan. Sambil tersenyum Hiro berusaha menenangkan Kirika. Shige yang masih berdiri di dekat pintu menatap tajam kepada mereka. Sementara Risako juga ikut memperhatikan dari atas kasurnya. Risako sadar, apa yang sedang dilihatnya kini merupakan hal yang menyakitkan bagi Shige. Astaga, bodoh sekali aku, batin Risako.

            “Sudah tidak apa-apa?” tanya Hiro lagi.

            Kirika hanya mengangguk pelan. Hiro kemudian berdiri dan berjalan menuju ke pintu. Setelah mengucapkan selamat tidur kepada keduanya, Hiro dan Shige menutup pintu dan berjalan ke tangga lantai dua.

            Risako memutar badannya dan memandang Kirika, “Eh, maaf ya... aku tidak tahu kalau kamu benar-benar takut sama hantu. Sebenernya di sini tidak ada yang begituan kok. Tenang saja, ok?! Oyasuminasai.

            “Iya...” Kirika memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur. Wajahnya masih terasa panas. Tadi dia malu sekali karena sudah berteriak sampai-sampai semua orang mendatangi kamarnya. Apalagi saat Hiro membelai lembut rambutnya. Kirika menyentuh rambutnya yang baru saja dirapikan Hiro. Terbayang kembali kehangatan tangan Hiro saat itu. Rasanya semua rasa takut dan cemas yang membayanginya sirna. Digantikan oleh kenangan manis yang terus melekat di matanya walau sudah tertutup. Bahkan memejamkan mata pun, Kirika masih dapat membayangkan wajah Hiro yang beberapa saat lalu masih berada di dekatnya, dengan tatapan mata yang membuat jantungnya berdetak amat kencang.

That's what the world calls love! -Hidden Relationships-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang