Pagi itu Shigeru bangun lebih awal, membuka gorden kamar apartemennya yang sudah kusam. Sinar matahari yang lemah menyusup di antara kabut yang tebal.
Suasana pagi itu semakin membuat keruh perasaan hatinya. Teringat kembali olehnya kata-kata dari orang yang paling disayanginya kemarin. Dengan malas, Shigeru berjalan ke kamar mandi, dan setelah selesai berbenah diri, dia langsung mengenakan sepatunya, keluar dari kamar apartmentnya yang sempit dan menuruni tangga untuk keluar dari blok apartment-nya itu.
Suhu udara pagi itu masih cukup dingin dan kabut yang cukup tebal semakin memperkeruh suasana hati Shigeru. Dia tahu, hari itu akan menjadi hari yang buruk baginya.
Dengan perlahan, dibukanya pintu kafe yang berjarak kurang dari 300 meter dari apartemen-nya.
Setelah memandang sekeliling, Shigeru duduk di tempat yang biasa, menatap ke jalanan di luar lewat kaca depan. Sambil mengaduk-aduk kopinya, Shigeru kembali memikirkan kata-kata dari Heiko.
Lima menit kemudian, pintu kafe terbuka lagi. Seorang perempuan cantik berambut panjang, mengenakan mantelnya yang cukup tebal berwarna coklat menghampiri meja Shigeru dengan tergesa-gesa.
“Aku terlambat ya... Maaf.” katanya sambil melepas mantelnya.
“Tidak, tidak apa-apa kok,” Shigeru menatap Heiko dalam-dalam lewat matanya yang kecoklatan.
“Kamu sudah pesan kopi untukku?” tanya Heiko sambil mencari-cari pelayan.
“Sudah kupesan... Kuminta untuk mengantarkannya saat kau datang...” dan semenit kemudian, seorang pelayan perempuan kemudian datang membawakan kopi.
Mereka berdua terdiam. Heiko memegangi cangkir kopinya dan menatap kosong uap dari cangkirnya yang mengepul. Sementara masih Shigeru terus menatapnya.
“Jadi?” tanya Shigeru akhirnya.
Heiko memalingkan wajahnya ke kaca untuk melihat jalanan yang sekarang mulai terang oleh sinar matahari.
“Seperti yang sudah kukatakan padamu kemarin...” jawab Heiko lesu.
“Jadi... Sudah benar-benar tidak bisa ya?” ucap Shigeru sedih.
Heiko mengangguk penuh penyesalan.
“Tapi... Kita masih bisa ‘berteman’ kan?” tanya Shigeru penuh harap.
Heiko tersenyum, “Tentu saja...”
KRINGG! KRIING! Handphone Heiko berbunyi, dan Heiko cepat-cepat mengangkatnya.
“Ya? Oh... Baiklah aku segera ke sana.” jawab Heiko pelan.
“Hide ya?”
“Iya... Dia menyuruhku pulang untuk mengukur gaun pengantin. Rencananya kami akan menikah bulan depan,” Heiko berusaha menghindari tatapan Shigeru.
“Cepat sekali. Nampaknya ibumu benar-benar ingin memisahkan kita...”
Heiko tidak menjawab. Dalam hatinya ia merasa sedih sekali dengan ibunya yang selalu mementingkan urusan kerja sama dengan perusahaan keluarga Hide. Mengorbankan dirinya...
“Heiko... Tidak bisakah...”
“Tidak, Shigeru. Sudah kukatakan. Aku benar-benar ingin bersamamu, tapi aku tidak bisa. Aku hanya berharap kamu pun bisa menerima keadaan kita sekarang ini dan yang akan datang nanti...”
KAMU SEDANG MEMBACA
That's what the world calls love! -Hidden Relationships-
Teen FictionTempat tinggal baru, sekolah baru, dan kehidupan SMA yang indah menantinya. Itulah yang ada di benak Kirika saat dia pindah ke Tokyo dari Hokkaido. Mungkin dirinya tidak sadar, tidak hanya perpisahan dengan sepupu kesayangannya, Ryu, yang akan membu...