Wanda Lestari Putri

21.2K 1.1K 8
                                    

"Wanda, Sayangku."

"Aduh duh duh, Aidan lepasin deh. Muka gue bisa basah gara-gara liur lo." Wanda mendorong wajah Aidan yang bersiap memberikan ciuman di pipi Wanda untuk yang ketiga kalinya.

"Bisa marah pacar gue gara-gara lo ciumin kayak gini," ucap Wanda lagi.

"Halah gaya, kayak situ punya pacar aja. Gebetan aja nggak punya," balas Aidan melepas pelukannya.

Aidan ini kenapa jujur sekali sih jadi orang? Wanda kan jadi kehilangan rasa percaya dirinya. Wanda jadi ingat kalau di usia yang ke-28 ini dia belum bisa mendapatkan hal yang sangat diinginkannya, calon suami.

"Emm ... Wanda, pas jam makan siang nanti kamu tolong wakili saya ketemu sama klien dari ARJUNA ya. Saya mau ada urusan sama istri saya."

Wanda berdiri dari duduknya saat Pak Daniel—manajernya—menghampiri kubikel Wanda.

"Baik Pak," jawab Wanda sambil menganggukkan kepala.

Pak Daniel berbalik kembali berjalan ke ruangannya. Namun, berhenti saat dirinya berada tepat di depan pintu. "Oh ya, jangan lupa siapin semua berkasnya. Saya nggak mau kehilangan klien berharga seperti ARJUNA. Oh ya, Aidan selamat bergabung lagi di Jakarta." Usai mengatakan itu semua, Pak Daniel menghilang di balik pintu ruangannya.

"Gila ya Pak Dan, baru juga tiga bulan gue tinggal ke Surabaya udah tambah berkharisma aja dia."

Wanda menjitak kepala Aidan dengan keras. "Pak Dan tambah kharisma gitu bukan karena lo ye. Bini baru hamil, wajarlah kalo kebahagiaan memancar di wajahnya."

"Halah gaya lo kayak udah nikah aja. Ciuman aja belom pernah."

"Sumpah ya mulut lo, minta dicium," jawab Wanda geram.

"Ya udah sini cium." Aidan memonyong-moyongkan bibirnya di depan wajah Wanda. Sampai-sampai semua orang yang ada di ruangan itu terkikik geli melihat tingkah laku Aidan.

"Pake sandal bego." Wanda benar-benar melepas heels-nya lalu menempelkan alas sepatunya itu ke bibir Aidan.

"Bibir lo kasar ya, Wan."

"Bego, dasar."

***

Wanda merenung di dalam kamarnya setelah selesai makan malam bersama Ayah dan Bunda. Lagi-lagi pikiran laknat kembali mampir ke otaknya. Kenapa gue jomblo terus? Kapan gue nikahnya?

Wajarlah Wanda berpikir begitu. Umur 28 masih belum ada laki-laki yang mau ngenalin Wanda ke orangtuanya. Dia bergeser ke tengah ranjang yang langsung menghadap cermin yang menempel di dinding. Dipegangi kedua pipinya sambil ditekan sampai bibirnya mengerucut ke depan. Gue cantik kok. Iya, tanpa lihat dua kali pun orang sudah tau kalo Wanda cantik. Cantik banget malah. Cuma ya itu, Wanda orangnya kelebihan cuek. Sekali liat Wanda, orang yang nggak kenal pasti anggap Wanda judes abis. Mukanya nggak pernah senyum kalau lihat orang asing, kecuali sama klien. Kalau sama klien dia pasti akan mengeluarkan senyum sejuta pesona miliknya.

Satu lagi halangannya untuk cepat mendapat calon suami. Wanda pikir, pekerjaannya sebagai akuntanlah yang menjadi penghalang besar. Dia perempuan, parasnya cantik, gajinya besar. Mungkin hal itulah yang membuat laki-laki menjadi sungkan untuk mendekatinya.

Wanda juga selalu berusaha untuk membuka diri kepada setiap orang yang sreg dengannya. Suer, Wanda selalu berusaha tersenyum kepada semua orang. Tapi ya tetap saja, sifat judes alamiahnya dari lahir, tidak bisa langsung hilang begitu saja. Ditambah lagi bundanya selalu menginginkan calon suami dengan penghasilan lebih besar darinya.

Tahu kan ya gajinya akuntan berapa perbulannya. Apalagi si Wanda ini udah termasuk akuntan senior di kantornya. Sejak jadi fresh graduate dia ngendon di kantor tempatnya kerja sampai sekarang. Kalo nggak Pak Manajer atau eksmud-eksmud gitu nggak bakalan ada yang sanggup untuk mendekati bundanya Wanda. Dan biasanya mereka-mereka ini sudah punya gandingan atau giliran single, nggak masuk ke tipe idamannya.

Dua tahun lalu dia putus dari pacarnya. Seorang pengusaha kafe yang udah punya berberapa cabang di Jakarta. Bundanya sampi marah-marah saat tau Wanda putus dari Delan—mantan pacarnya itu—. Habisnya mau gimana lagi, visi hidup Wanda sama Delan saja sudah beda arah gimana mau dilanjutin.

Dan satu tahun lalu, ada seorang guru SMA muda yang berani mendekatinya. Orangnya baik, friendly, dan sangat berbakti kepada orang yang lebih tua. Dan memang dasar orangnya kelewat baik, mau mengajak Wanda pacaran saja harus minta izin kepada bundanya lebih dulu. Alhasil ya sebelum Bimo—nama si guru—menjadi pacarnya, dia sudah dibabat habis oleh Bunda.

Kalo ada yang bilang bundanya Wanda itu materialistis, Wanda sudah nggak heran akan hal itu. Wanda sudah sering mendengar nyinyiran macam itu. Wanda juga terima karena itu memang kenyataannya. Toh, bundanya bersikap seperti itu juga pasti ada alasannya. Bundanya hanya mau Wanda hidup dengan bahagia, bundanya hanya mau pernikahan Wanda kelak terjauhkan dari masalah yang berkaitan dengan financial, meskipun hal itu mustahil. Setidaknya kalau Wanda punya suami yang memiliki gaji lebih, maka kehidupan rumah tangga anaknya akan jauh dari cekcok karena ego si suami yang tidak terima kalau sang istri melebihinya. Hanya itu tujuan bunda Wanda, dia menginginkan Wanda dan suaminya kelak terjauh dari segela jenis cekcok karena uang.

Tapi, satu hal yang masih Wanda patut syukuri, kedua orangtuanya tidak berusaha melakukan perjodohan-perjodohan tidak jelas itu. Bunda dan ayah Wanda mengerahkan segala hal mengenai pasangan hidup kepada Wanda sendiri. Biarlah Wanda sendiri yang mencari calon suami yang cocok dengan dirinya.

Ayah dan bundanya memang setipe, sama-sama mengutamakan pendidikan dan karir anaknya. Di saat orangtua lain akan kebakaran jenggot mempunyai anak perempuan yang sudah berumur 28, tapi belum menunjukkan tanda-tanda akan menikah dalam waktu dekat. Maka berbeda dengan kedua orangtuanya. Kalau ditanya apakah ayahnya tidak ingin segera menikahkan Wanda maka jawaban ayahnya adalah, asalkan belum 35 sih Ayah nggak masalah kalau Wanda jomblo. Kejar saja karirmu, Wan, jodoh dipikir sambil jalan.

Wanda memang lega mendengar jawaban ayahnya, setidaknya dia tidak menjadi beban bagi ayahnya. Tapi, tetap saja hatinya rawan kalau mendengar cerita-cerita mengenai lamaran atau urusan-urusan yang dekat dengan pernikahan lainnya. Teman-teman kantornya yang silih berganti memberikan undangan kepada Wanda. Dateng ke nikahan gue ya, Wan, cepet nyusul deh. Satu bulan lalu, saat Wanda ikut menemani salah satu sepupunya untuk melamar perempuan. Bisa Wanda saksikan kalau raut bahagia begitu terpancar dari wajah kedua orangtua si perempuan. Apa besok Ayah bakal sebahagia itu kalau ada laki-laki dateng lamar gue? Dan Wanda penasaran akan hal itu.

Ayahnya memang begitu, tidak pernah memaksakan Wanda untuk cepat menikah. Dulu sewaktu Wanda masih awal-awal menjadi akuntan, ayahnya pernah menasehati Wanda. "Kamu kerja yang bener, Wan, dapet uang yang banyak jabatan yang tinggi. Kalau urusan laki-laki mah Ayah percaya, asalkan kamu pinter, karirmu bagus laki-laki pasti akan ngantri buat memperistri kamu."

Iya, Yah, iya karir Wanda memang udah bagus, Wanda udah punya banyak uang, tapi sampe sekarang nggak ada laki-laki yang berani deketin Wanda. Rasanya ingin sekali Wanda berkata seperti itu ke hadapan ayahnya. Apalah daya hatinya yang lemah dan mudah nggak kuat dengan hal-hal romantis. Melihat teman-temannya antar anak sekolah berdua dengan suami saja sudah bikin hati Wanda meleleh. Kapan gue kayak gitu. Duh, duh Wanda kalau sudah meratapi nasib jomblonya begini, suka nggak ingat waktu. Tahu-tahu sudah jam sebelas saja sekarang. Aduh Wanda, kalau meratap mah nggak akan ada habisnya.

***

"Wanda, Sayang kamu hari ini nggak ada jadwal lembur weekend kayak sebelum-sebelumnya kan?"

Baru saja Wanda duduk, bundanya sudah nyinyir saja kepadanya. Minggu lalu saat Wanda sudah berjanji menemani Bunda belanja, tiba-tiba saja Pak Daniel meneleponnya untuk segera pergi ke kantor dan menyelesaikan laporan audit. Laporan yang seharusnya ditandatangani bapak atasan hari Rabu harus dimajukan menjadi hari minggu karena Pak Busro—partner di KAP tempatnya bekerja—harus pergi keluar negeri pada hari Senin.

"Santai Bun, hari ini Wanda free kok," jawab Wanda sambil tersenyum.

"Nggak jalan sama pacarmu Wan?" tanya ayahnya.

"Pacar siapa, Yah? Pacar orang?"

"Ya udah nggak papa, belum 35 kok." Tuh kan, selalu begitu jawaban ayahnya.

"Ah Ayah ini, ya nggak 35 juga kali. Nggak papa, Wan, kamu belum punya pacar malah bisa nemenin Bunda belanja terus."

"Asal Bunda mau bayarin Wanda yes?"

Orangtuanya ini memang orang tua paling aneh yang pernah Wanda kenal.

***

Money (VERSI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang