Aku marah. Aku benar-benar marah padanya. Apa yang ada di benaknya ketika ia malah memutuskan untuk melarikan diri dan mematikan ponselnya agar tidak ada yang bisa menghubunginya? Memangnya ia tidak tahu betapa khawatirnya semua orang terhadap dirinya? Memangnya ia tidak tahu betapa aku takut terjadi sesuatu pada dirinya?
Terutama saat aku menemukan dirinya di tempat biasa dekat sungai dengan sebatang rokok yang ia genggam. Emosiku segera memuncak. Mengapa ia tidak pernah bisa berpikir secara jernih ketika sesuatu menimpa dirinya?
Aku mengambil secara kasar rokok tersebut dan membuangnya. Aku memarahinya. Aku mengeluarkan rasa kesalku, berharap ia bisa mengerti apa yang ia lakukan itu salah. Salah besar.
Tapi, kurasa keputusanku-lah yang salah besar. Aku pikir dengan cara memarahinya maka ia akan mulai berpikir dengan jernih. Nyatanya, ia malah semakin berpikir tidak jernih. Karena sekarang ia memelukku, begitu erat, ditambah dengan kata-kata meracaunya yang justru malah membuat hatiku bertingkah aneh lagi. Seharusnya aku masih marah padanya. Seharusnya aku tidak boleh diam begini. Namun, hatiku menyerah diikuti oleh tubuhku, membiarkan dirinya memelukku sampai ia bosan.
"Kau adalah kompasku, Seola. Ketika aku kehilangan arah, kau yang akan menunjukkan jalan. So, I really need you now. Itulah arti dirimu dalam hidupku. Kau harus tahu itu."
Apakah aku tidak salah mendengarnya? Aku adalah kompas dalam hidupnya? Sepenting itukah diriku baginya? Aku harus menghentikan ini semua, kalau aku masih ingin jantungku tidak melompat dari tubuhku.
"Wonho. Tolong lepaskan! Aku merasa gerah." Sekali lagi aku berusaha menggeliat agar ia bisa melepaskanku. Kali ini, ia membiarkannya dan tidak mempererat pelukannya seperti tadi. Setelah terlepas dari pelukannya, aku mencoba untuk menutupi wajahku dengan beberapa helai rambut yang memang sudah setengah menutupi wajahku. Aku takut ia dapat melihat rona merah di pipiku.
"Kenapa? Kau malu, huh?" tanya Wonho berusaha untuk membuka rambut yang masih menutupi wajahku. Aku mengambil langkah mundur, membuat dirinya malah terkekeh pelan melihatku.
Melihat dirinya yang justru malah menertawaiku, aku jadi merasa kesal lagi.
"Ya! Kau mabuk, kan?" tudingku padanya, dengan jari telunjuk tertuding tepat di depan wajahnya.
Ia mengangkat kedua tangannya tinggi, seakan berkata tidak, lalu memasang wajah tidak bersalah sama sekali. "Mabuk? Tentu saja tidak. Aku masih sepenuhnya sadar."
"Bohong! Aku yakin kau pasti sudah mabuk. Tampangmu...." Aku memerhatikan wajahnya dengan baik-baik. "....mencurigakan."
Wonho berdecak tidak percaya, mengambil selangkah lebih dekat padaku dan memegang kedua bahuku mantap. Wajahnya juga berada sangat dekat dengan wajahku, membuat darahku kembali berdesir cepat di sekujur tubuhku.
"Kalau begitu, coba kau tentukan sendiri, apakah aku mabuk atau tidak ketika aku berbicara sedekat ini?" Dan ia benar-benar berbicara tepat di depan mulutku, hanya dengan jarak yang sangat tipis antara bibirku dan bibirnya.
Ternyata ia benar. Ia tidak berbohong sama sekali karena aku tidak mencium sedikit pun bau alkohol dari mulutnya. Tapi itu justru malah membuatku semakin tidak berdaya dibuatnya. Oh, Tuhan, kenapa aku harus merasakan sesuatu seperti ini?
"Kenapa diam saja?" Ia memberikan senyum menggoda padaku, membuatku ingin mendorongnya jauh-jauh. "Katakan sesuatu, jangan diam saja."
Aku menelan ludah dengan susah payah dan mencoba sedikit keberanian untuk menatapnya, dengan jarak sedekat ini.
"Jadi....apakah kau baik-baik saja?" tanyaku dalam nada yang sengaja kupelankan.
"Serius, Seola? Kau hanya ingin menanyakan itu?" Ia tertawa pelan masih dalam keadaan sedekat ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/113643631-288-k512374.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Will We? | Wonho (Monsta X) & Seola (WJSN)
Fanfic[COMPLETED] "Persahabatan antara seorang perempuan dan lelaki itu tidak akan pernah bertahan lama, karena biasanya akan berujung dengan cinta." Shin Wonho (Monsta X) || Kim Seola (WJSN) Please don't be silent reader 🙏 23.6.2017-25.9.2017