•Seola•

898 112 6
                                    

Gadis itu hanyalah gadis kecil yang tidak tahu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mendengar teriakan, pecahan barang, jeritan, tangisan. Hanya itu yang bisa ia lakukan dan berdiam diri di kamarnya. Mendengar dan mendengar setiap suara yang akan muncul. Mendengar dan mendengar sembari menutup kedua matanya. Mendengar dan mendengar hingga ia menggigit kuku-kukunya. Mendengar dan mendengar, hingga ia tak sanggup lagi mendengar dan menutup kedua telinganya.

***

Aku terbangun dari mimpi burukku. Mimpi itu lagi. Mimpi yang akan menghantuiku kalau pikiranku sedang kacau. Dan memang sekarang keadaanku sangat-sangat kacau.

Koridor rumah sakit ini terbilang sepi dibandingkan hari biasanya. Aku suka itu, karena aku tidak begitu suka keramaian dalam rumah sakit. Rasanya tidak enak saja berada di sekeliling orang yang sedang sakit.

Aku membetulkan posisi dudukku dan mengusap wajahku perlahan. Sudah berapa lama aku duduk di sini? Sudah berapa lama sejak Eomma masuk ke ruang ICU? Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Aku hanya ingin Eomma segera keluar dari ruang ICU secepatnya.

"Seola."

Suara derap kaki yang berlari kecil menghampiriku dan aku melihat Wonho beserta ibunya datang dengan wajah yang juga menyiratkan kekhawatiran.

"Seola, sayang. Aku dapat kabar dari Wonho tentang ibumu. Apakah ia belum juga keluar?" Ny.Shin duduk di sampingku dan merangkulku erat. Ia memang sudah kuanggap sebagai ibu keduaku.

"Belum."

Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa pada mereka. Mereka adalah orang yang selalu membantuku dan juga keluargaku di saat kita butuh. Untuk merasa malu pun, aku sudah tidak bisa merasakan itu lagi karena betapa bergantungnya kita pada keluarga Wonho.

"Tenanglah, sayang. Aku akan membantu membiayai pengobatan ibumu. Aku akan mengisi pendaftaran rumah sakit dulu. Wonho, tolong jaga Seola, ya."

Lihat? Bahkan untuk membayar biaya rumah sakit saja, semua ditanggung oleh Ny.Shin. Memang aku punya tabungan sendiri, tapi itu tidak akan cukup untuk membayar biaya pengobatan di rumah sakit ini. Aku tidak tahu harus meletakkan wajahku di mana.

"Terima kasih banyak. Maafkan keluargaku selalu merepotkan," ucapku tak berdaya.

"Tidak apa-apa. Kau dan ibumu sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri."

Aku tersenyum mendengarnya dan Ny.Shin mengelus rambutku perlahan. Tanpa perlu menunggu lama, ia segera bangkit berdiri dan melangkah menuju tempat pendaftaran rumah sakit.

Wonho belum juga bicara sejak datang tadi, tapi saat ia duduk di sampingku meskipun ia tidak berbicara apa-apa, aku sudah merasa aman akan kehadirannya. Sudah kubilang keluarga Shin bagaikan malaikat pelindung. Aku tidak tahu berapa kali Wonho telah datang untuk menyelamatkanku selama ia menjadi sahabatku.

"Kau tahu, aku benar-benar tidak ingin merepotkanmu ataupun ibumu. Tapi sungguh, tadi aku sangat panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Dan kau adalah orang pertama yang melintas di kepalaku. Mungkin juga satu-satunya. Jadi, aku memutuskan untuk menghubungimu."

"Seola. Kau berkata seakan-akan kita baru saja berkenalan. Kita sudah bersahabat sejak umur kita masih 5 tahun. Aku tidak ingin mendengar kau mengatakan hal semacam itu lagi."

Mudah bagi Wonho untuk berkata seperti itu, tapi ia tidak tahu betapa aku merasa ingin membalas semua hutang budi yang mereka lakukan terhadap keluargaku.

"Ya, benar. Baiklah, aku tidak akan berkata seperti itu lagi."

Dan sepanjang sisa waktu sembari menunggu Eomma keluar dari ruang ICU, dengan ditemani Wonho yang terus duduk di sampingku, juga Ny.Shin yang sibuk mengurus biaya pengobatan rumah sakit, pikiranku terus berpusat pada bagaimana cara aku bisa menghasilkan banyak uang untuk membalas budi mereka dan juga demi kelangsungan hidup Eomma dan juga diriku.

***

Malam hari pun tiba dan Eomma sudah berada di ruang rawat inap biasa. Dokter berkata kalau semakin hari jantungnya semakin lemah dan Eomma perlu perawatan lebih lanjut jika tidak ingin terjadi yang tidak-tidak.

Eomma memang sudah memiliki jantung yang lemah dari dulu, sehingga ia tidak boleh kelelahan dan juga banyak pikiran. Aku merasa menjadi anak yang tidak berguna jika Eomma sudah seperti ini, jantungnya kambuh, dirawat di rumah sakit, tapi yang membiayai perawatan Eomma bukanlah aku sebagai anaknya melainkan orang lain yang bukan dari kalangan keluarga sama sekali.

"Maafkan aku selalu merepotkan dengan penyakitku ini, Shin. Kau terlalu baik selalu membantu keluargaku," ucap Eomma terbaring lemah dengan masker oksigen menutupi mulutnya.

"Jangan pernah sungkan. Aku tidak pernah merasa direpotkan. Yang penting kau harus cepat sembuh, Kim."

Wonho dan ibunya masih setia menemani kami di salah satu bilik rumah sakit. Tapi sebentar lagi jam besuk akan habis dan mau tidak mau mereka harus pulang ke rumah.

"Kurasa sebentar lagi jam besuk akan selesai. Kalau begitu, aku yang akan menjaga Eomma. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya. Maaf kalau merepotkan."

"Tidak apa-apa, Seola. Baiklah. Jaga ibumu baik-baik ya. Cepat sembuh, Kim. Kami pulang dulu."

Aku membungkuk dalam pada Ny.Shin, walaupun itu tidak bisa menggambarkan betapa aku sangat berterima kasih padanya.

"Ny.Kim, cepat sembuh ya. Agar Seola tidak sedih lagi."

Eomma hanya bisa tersenyum lemah mendengar perkataan Wonho. Sepertinya sebentar lagi ia akan tertidur.

"Kalau ada apa-apa, tinggal hubungi saja aku. Mengerti?"

Aku menggangguk memberi jawaban pada Wonho. Tak lama, hanya tinggal aku dan Eomma berdua dalam ruangan ini. Ruangan sunyi senyap. Bahkan pencahayaan hanya berasal dari lampu kecil yang ada di atas meja. Eomma sudah kembali terlelap, dan aku hanya terpaku menatap Eomma penuh kekosongan. Ingin rasanya menangis, tapi air mata seakan sudah habis terkuras dari mataku.

Aku memejam erat kedua mataku. Kubiarkan rasa tak berdayaku berputar-putar dalam kepalaku, berharap semua pusaran itu akan menguap seketika. Tiba-tiba sesuatu terlintas begitu saja, mengingatkanku pada sesuatu yang sangat penting.

Aku berlari keluar dari ruangan, berlari di tengah koridor, berlari menuruni tangga, berharap Wonho masih tidak terlalu jauh.

Sesampainya di lantai paling bawah, aku melihat Wonho dan ibunya tengah berdiri di depan taksi yang sedang berhenti. Aku kembali berlari dan berlari sebelum semuanya terlambat. Saat Wonho baru saja ingin masuk ke dalam taksi, aku menahan lengannya, membuatnya menghadapku secara langsung.

"Seola? Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada ibumu?" tanyanya sedikit cemas.

Aku menggeleng, masih berusaha mengatur napas sehabis berlari tadi. "Tidak...bukan. Ini bukan tentang ibuku. Ini....tentang diriku."

"Tentangmu?" Wonho menaikkan kedua alisnya menyelidik.

"Benar, tentangku. Aku sudah memutuskannya, Wonho."

"Memutuskan apa?"

"Audisi. Aku akan mencoba untuk ikut audisinya."

TBC~

Oke jadi alurnya memang akan sedikit lambat sampai menuju climax nya. Jadi, sabar aja yah yg nunggu momen2 sweet nya (kalo ada, eh harus ada deng) hehehe. Saranghae, readers❤️

Will We? | Wonho (Monsta X) & Seola (WJSN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang