JIHAN
Aku sudah tidak peduli dengan efek yang akan timbul setelah ini. Si Jihan ini, iya aku, bodoh level kuadrat sepertinya. Punya nyawa berapa sampai berani kabur dari pemimpinnya sendiri. Menipu dulu pula.
Aduh, duh.
Tanpa sadar aku menepuk kepala sendiri beberapa kali. Bodohnya. Bodoh...
Ah, tapi tidak juga sih. Sisi lainku mengingatkan.
Ya, benar. Lebih baik kabur dari pada ikut acara rapat yang bahkan tidak jelas. Siapa tahu aku diajak ikut aliran sesat. Oke, itu sih kejauhan.
Pokoknya aku harus memantapkan diri untuk menjauh dari Argi. Toh tidak ada hal tertulis atau sebagainya yang melarangku lepas dari hubungan yang bahkan tidak terikrarkan jenis statusnya. Poor, Jihan. Mau-mau saja dibodohin sama orang egois macam Argi.
Sebenarnya sih aku lebih ke rasa takut tadi. Tapi setelah kabur aku jadi lebih takut lagi. Dia tidak akan mengejarku sampai ke rumah kan?
"Don, ajak gue pergi lagi aja deh." Pintaku pada Doni yang sudah siap menggas motornya kembali.
"Nggak ada." Tolakknya cepat. "Gue mau futsal sama anak kelas, lagian lo udah di rumah tuh ya masuk dulu kek salim-salim ke orang tua kek, ini kok malah mau cabut lagi." Lanjutnya dengan menggerutu.
"Pelit banget sih lo. Gue cuma minta antar aja pake diceramahin segala!" Balasku sebal.
"Bodo amat. Assalamualaikum!"
Aku menghentakkan kaki kesal. Dasar anak kurang ajar! Awas saja besok, akan aku sebarkan kalau dia sekarang sudah berani pacaran padahal dia sendiri yang suka buat gerakan jomblo fisabilillah di kelas.
Akhirnya aku memilih untuk buru-buru mengunci pagar dan masuk ke dalam rumah.
"Kenapa sih buru-buru?"
Aku sukses terpeleset tangga kecil di depan teras dengan sangat tidak elit karena terkejut melihat Mama yang muncul tiba-tiba.
"Sakit, Maaaaa..." rengekku bercampur kesal dan rasa frustasi.
"Ada-ada aja sih kamu, Jihan." Kata Mama sambil menahan tawa membantuku bangun. Tapi yang ada malah kita saling tarik-menarik dengan menyebalkan.
"Jihan kenapa, Tante?"
"Oh, Argi? Ini tadi Jihan berantem sama lantai." Jawab Mama kemudian tertawa.
"Jihannya pingsan! Pingsan nih!" Kataku cepat lalu pura-pura pingsan dengan terkulai lemas di pelukan Mama.
"Apa sih, Jihan! Malu-maluin aja, ayo bangun!"
Aku membuka mata dan mendelik pada Mama. "Mama yang malu-maluin aku juga."
Mama tertawa. "Maaf ya Argi, Tante sampai gak sadar ada kamu tadi."
"Iya, gakpapa Tante. Justru saya yang minta maaf karena langsung masuk gitu aja, saya kira Jihan kenapa-kenapa tadi."
"Ayo masuk sini. Biar kakinya Jihan dikasih minyak angin dulu, mungkin keseleo sedikit."
Aku diam saja mengikuti Mama yang membopongku ke dalam.
"Mama..." lirihku sambil menahan sakit. Mama hanya bergumam, tetap fokus memijat kakiku.
"Argi suruh pulang aja, aku mau istirahat. Sakit nih." Kataku sesekali melirik Argi yang sudah duduk rapih di teras.
"Yang sakit kan kaki, toh kamu gak diajak kemana-mana sama dia. Nggak boleh anggurin tamu."
"Dia mah bukan tamu, tapi malaikat maut." Gumamku pelan yang ternyata terdengar oleh Mama.
"Punya mulut tuh dijaga!"
.
"Diminum sirupnya ya, biskuitnya juga dimakan."
"Iya Tante, makasih. Maaf nih jadi ngerepotin."
Mama hanya tersenyum lalu pergi masuk ke dalam.
"Pulang sama siapa?" Argi mulai bertanya setelah meminum sirupnya, menyisakannya setengah gelas lagi.
"Sama Doni." Jawabku tanpa mau repot-repot menatap balik matanya.
"Siapa?"
"Nggak akan kenal. Teman sekelas."
"Kenapa pulang? Atau bisa saya sebut... kabur?"
Jantungku berdetak semakin tidak normal. Mampus gue.
"Saya tadi kebelet pipis." Jawabku pelan. Pelan sekali, berharap dia tidak mendengar kalimat bodoh itu.
Argi tertawa pelan. "Kenapa rasanya susah ya marah sama kamu?" Tanyanya entah pada siapa.
Aku diam. Ingin jawab mungkin karena aku ini memang loveable, heartable, gemesable, dan sebagainya tapi takut dia jadu marah sungguhan.
Aku membuang napas seperti orang pasrah, tidak akan ada lagi kesempatan untuk menghindar. Mungkin memang ini yang kami butuhkan, saling menyampaikan masalah masing-masing. Semoga saja tidak ada yang emosi kali ini.
"Ayo mulai aja."
"Mulai apa?" Tanyanya polos.
"Ada yang mau Akang omongin kan?"
"Kaki kamu gimana? Masih sakit?"
Aku melotot menatapnya dengan gemas. Sudah siap jiwa raga gini malah mengalihkan pembicaraan.
Dia tertawa menghindari cubitanku di lengannya. "Oke, easy."
"Saya perlu pembukaan dan puji syukur gak nih?" Tanyanya masih tersenyum jahil.
"Garing, Kang." Kataku sedatar mungkin berusaha menahan senyum.
Sumpah manusia satu ini gak jelas banget maunya apa.
Argi mengusap kepalaku lembut. "Jangan tegang, kita ngobrol santai aja ya."
Aku mengangguk kemudian membenarkan posisi dudukku yang memang terasa tegang sejak tadi.
"Saya mau kamu jelasin apa yang buat kamu marah terus sama saya belakangan ini,"
Aku sudah ingin mengumpat saat dia kembali melanjutkan kalimatnya.
"Mungkin saya emang gak peka tapi dengan kamu sebut saya seperti itu, nggak akan buat saya jadi ngerti kesalahan apa yang udah saya perbuat."
Aku mendengus dan diam beberapa saat sebelum mengatakan masalahku.
"Saya gak suka lihat Akang dekat sama adik kelas itu. Antar pulang atau interaksi lain di antara kalian bikin hati saya sakit. Kang Argi juga nyebelin banget kalau udah ada suatu hal menyangkut cewek itu, seakan-akan nggak ada pengaruhnya sama perasaan saya. Saya emang nggak berhak buat marah apa lagi larang Akang sama dia. Ah... pokoknya ini yang saya gak suka dari hubungan gak jelas antara kita."
"Yang kamu maksud itu Disha?" Tanyanya. Aku mengangguk.
"Dia sepupu saya, Jihan."
Aku menoleh cepat menatapnya tidak percaya, bahkan mulutku ikut membulat.
"Bohong ya?" Tanyaku.
"Ayahnya itu adik ayah saya, Jihan."
Aku mengepalkan tangan dengan kuat, merasa frustasi dan sia-sia.
"Jadi kamu cemburu dan karena itu kamu deketin Gema buat balas dendam ke saya?"
Teng teng teng bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS in LOVE
Teen Fiction"Kita tetap pakai prinsip no-relationship di OSIS." -Argi, Ketua OSIS. "Nggak kok, gue gak suka sama Argi." Jihan, anggota BPHOSIS. Keduanya masih tersangkut pada bayangan masa lalu. Dan ketika keduanya sadar, mereka terjebak dalam perasaan yang sam...