xli. "nggak."

1.6K 97 9
                                    

ARGI

Cukup sehari bersama Jihan--dengan semua kebahagiaan yang dia bawa, untuk berhasil membuatku sadar kalau ternyata aku memang sudah sebodoh ini rupanya. Gema tidak salah jika dia mengambil langkah cepat untuk bisa bersama Jihan, hanya aku yang terlalu egois tidak mau membagi tiap kebahagiaan yang ada pada Jihan ini untuk orang lain.

Hari ini auranya sangat ceria, membuatku ingin memeluknya kalau saja tidak sadar diri. Setelah melakukan itu mungkin aku akan dibawa naik halilintar tanpa sabuk pengaman agar dia bisa mendorongku begitu sampai di atas.

"Mau gak?" Tanya Jihan. Matanya berkilauan menatap gumpalan es krim cokelat di tangannya.

Ah, jadi ini rasanya saat orang bilang ingin waktu berhenti saja.

"Nggak. Gigi saya sensitif."

Dia tertawa. "Berasa iklan."

Ternyata ada yang bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat dibanding melihat wajah kesalnya. Itu adalah senyum, tawa, dan wajah bahagianya yang membuat jantungku teriak kelelahan seharian ini.

"Ayo, makan. Kali ini saya yang bayar." Katanya setelah es krimnya habis.

"Saya bawa uang banyak, kok."

"Saya juga. Gak usah sombong."

Aku tertawa. Kami ada di taman bermain, tapi yang kami lakukan sejak tadi hanya melompat dari satu tempat makan ke tempat makan lain. Jihan bilang dia tidak mau waktunya di sini habis karena menunggu antrian untuk tiap wahana permainan. Aku sangat setuju padanya kali ini.

"Kita cari minum aja, saya kenyang." Aku menahannya tepat di depan toko jus.

"Mau jus apa?" Tanyaku setelah menuntunnya duduk di salah satu bangku.

"Akang yang pesan, tapi saya yang harus bayar. Oke?"

Aku mengangguk. Semakin merasa bahwa laki-laki mana yang tidak mau punya pacar anti dibayarin seperti ini?

"Besok harus ke mana ya?" Tanyanya, kurasa pada dirinya sendiri.

"Besok kamu istirahat."

Dia menggeleng sambil menyedot jusnya. Cute. "Besok mau jalan sama Fiya, tapi belum tahu mau ke mana. Kira-kira bagusnya ke mana?"

"Ke rumah saya."

Dia tersedak lalu melotot menatapku dengan kesal.

"Kenapa? Saya bisa ajak Judan juga, nanti kita double date?"

Matanya menatapku seperti dua kali lebih lebar. "Date? Emangnya kita itu nge-date?!"

Aku menahan tawa tapi juga menyesali ucapanku. Dia pasti sangat kesal. "Maksud saya, kamu sama Gema."

Oke. Aku lebih menyesali yang barusan. Gema? Jangan harap!

"Oh... oke. Ide bagus."

"Jangan!" Kataku buru-buru. "Saya bercanda. Ka-kamu gak boleh pergi sama dia."

"Kenapa emangnya? Who do you think you are?"

Jleb. Aku tidak bisa berkata-kata lagi.

Jihan kemudian tertawa setelah wajah seriusnya hampir berhasil membunuhku. "Bercanda. Gema udah gak pernah hubungin saya lagi, mungkin dia capek nunggu saya yang gak kasih jawaban."

"Kenapa gak kamu jawab aja?"

"Saya gak mau nolak dia sih aslinya. Soalnya orang ganteng itu pamali ditolak."

Aku akan mulai protes saat dia kembali bicara. "Tapi oke saya bakal jawab dia nanti. Kasihan, nunggu itu kan rasanya gak enak."

Aku menelan ludahku sendiri dengan susah payah seperti itu adalah batu besar yang Jihan sengaja suapi untukku.

.

"Jihan." Panggilku saat dia hendak memasang earphone dan bersender di kursi penumpang kereta.

Hari sudah sangat sore dan aku berharap bisa mendorong matahari agar kembali lagi ke timur. Tapi mungkin setelah itu kiamat yang justru terjadi.

"Tahun depan saya kelas dua belas."

Jihan hanya menatapku, menunggu kalimat selanjutnya yang sulit sekali aku katakan.

"Sebentar lagi saya lengser."

"Sedih karena lengser?" Tanyanya bingung.

Aku menarik salah satu tangannya balik jaket yang dia pakai. Dia masih menatapku.

"Kamu mau tunggu saya sampai waktu itu?"

"Nggak." Jawabnya detik itu juga tanpa keraguan sama sekali.





Vote-vote jangan lupa😂 comment juga, walaupun aku gak bisa sering bales, semua komentar bikin aku pengen ngetik mulu😂 makasih banyak yang masih mau baca cerita ini💕 terus tunggu akhir jalannya Argi sama Jihan yaw, muah :*

OSIS in LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang