JIHAN
"Kalau gitu, kita buat hasil yang pasti sekarang."
Aku menggeleng, sudah lelah sendiri mendengar ucapannya. "Saya butuh waktu sendiri."
"Ayo, saya antar kamu pulang."
"Nggak usah."
"Jihan..."
"Kang Argi mau kasih saya kepastian gak?" Tanyaku berusaha tegas.
Jujur, aku mulai jengah juga dengan fase hubungan kami yang seakan hanya berputar-putar begitu saja. Aku tertawa miris dalam hati, apa itu gengsi?
Argi diam lalu perlahan menunduk. Meski sekilas aku tahu dia menarik napas dengan sangat berat.
"Nggak kan? Itu hasil yang pasti sekarang, kang."
Sudah begitu.
Setelahnya aku pergi dan kami berpisah.Setelah itu ponselku penuh dengan notifikasi darinya. Tidak ada satupun yang aku balas, sepertinya buat mengetik saja jariku sudah lemas. Iya aku nangis saat sampai di rumah, dengan histeris pula.
Tapi hanya hari itu pop up di ponselku penuh dengan namanya. Setelahnya dia hilang begitu saja, bahkan di sekolah. Ya namanya juga perempuan, secara hati pasti aku masih ingin dia perjuangkan. Memang kenyataan itu susah kalau mau disandingkan dengan harapan.
Jadi, sesudah ini semua, kenapa kok rasanya sia-sia saja. Mungkin menyesal itu perasaan yang agak tidak tahu diri karena biar bagaimanapun Argi banyak ikut andil dalam masa-masa kebahagiaanku, tapi... ya gitu.
Sepertinya aku sudah terlalu sakit hati setelah semua yang dia lakukan padaku. Janji? Ha! Aku sih tidak mau dibodohi hati lagi yang selalu mengklaim bahwa aku yang salah sudah terlalu berharap.
Yang salah tuh dia. Kasih harapan sampai orang gak tahu lagi gimana caranya menapaki bumi.
Ceilah.
Seminggu sudah, tapi aku masih belum puas menangisi kebodohanku. Rasanya mau unyeng-unyeng kepala sendiri, karena Fiya yang kusuruh melakukan itu padaku malah panjang lebar menasihatiku. Parahnya lagi, dia belain Argi. Dia bilang kalau Argi sebenarnya tulus, cuma gak punya cara membuat keputusan final.
Halah. Tai kucing.
Iya aku se-kecewa itu dengan Argi.
Aku sudah muak mendengar yang seperti itu sejak dulu.
TAPI
Aku sadar diri kalau masih ada harapan-harapan kecillllll sekali yang muncul dengan sialannya dari hati dan pikiranku. Mungkin karena hasutan dan pembelaan Fiya itu memang manjur, atau Argi memang sudah dicap sebagai sumber dari semangatku.
Di lain sisi aku berusaha untuk membulatkan tekad agar tidak masuk lagi ke dalam lingkaran setan itu. Iya, ke dalam hubungan yang entah apa namanya.
Apa hanya aku yang frustasi pada kelabilan diriku sendiri atau memang semua remaja di dunia ini mengalami hal yang sama?
"Di jemput, Han?"
Aku menoleh pada Gema, untuk pertama kalinya menanggapi si cowok ganteng ini tanpa senyum.
"Iya."
"Awas, lama-lama jadian sama kang ojek buluk."
"Biar buluk, mang Ujang GAK PERNAH INGKAR JANJI."
Entah kenapa aku jadi emosi.
"Ya gak usah ngegas juga kali." Gema tertawa.
Dia ganteng tapi gak tahu malu. Maksudnya, dia kan pernah nembak aku. Seenggaknya ada lah perasaan canggung ketika ketemu apa lagi ngobrol. Memang dasarnya kardus, sih. Untung ganteng.
"Eh, iya. Tolong dong titipin salam gue ke anak OSIS yang lagaknya selengean itu." Dia menunjukkan jari ke arah seseorang.
Aku ikut menoleh. Memang ada sekumpulan anak OSIS di sana, tapi aku yakin Gema menunjuk Yusuf.
"Kakak suka sama Yusuf? Pake titip salam segala." Ini rencananya mau ngelucu, tapi entah kenapa gak dikasih reaksi yang bagus dari Gema.
"Bukan, ege. Dia songong kemarin ngajak tanding basket one by one."
Aku berdecak, kesal sendiri kenapa Tuhan menghadirkan dia di saat atmosfer dalam duniaku lagi panas-panasnya. Dulu waktu ngaku naksir sikapnya manis banget, sekarang ketahuan bobroknya. Sekali lagi, untung ganteng. Jadi dimaafkan lah.
"Ngomong sendiri aja lah." Balasku ogah-ogahan, jadi kangen Mang Ujang yang belum datang juga.
"Saya yang antar pulang."
Argi muncul. Sudah ready dengan motornya. Harus jawab apa? Sumpah, kayaknya mulut aja canggung mau ngejawab.
"Jihan?"
Aku berdehem. "Mang Ujang udah di jalan." Jawabku pelan.
Dia tiba-tiba turun lalu berdiri diam cukup lama di depanku yang posisinya lagi duduk. Aku gak berani mendongak, takut. Kenapa juga dia muncul terus tiba-tiba menawari diri untuk mengantarku pulang dalam kondisi sekolah yang masih sangat ramai ini.
"Wadoh, apaan nih?" Tiba-tiba Gema nyeletuk.
"Apa?!" Kataku entah kenapa malah sewot sama Gema yang sebenarnya gak punya salah apa-apa.
"Ngegas mulu, sis. Tuh ojek buluknya dateng."
"Biarin buluk, yang penting gak bikin sakit hati."
Setelah itu aku pergi begitu saja, melewati Argi yang tidak mengucapkan apa-apa lagi.
Tarik napas... buang.
Tarik napas... buang."Neng? Mau langsung pulang?" Tanya Mang Ujang yang sudah melajukan motornya jauh dari sekolah.
"Ya pulang, mang. Mau kemana lagi emangnya?!"
Mang Ujang malah cengengesan aneh. "Neng kalau mau bareng sama pacarnya juga nggak apa-apa kok."
Aku melotot langsung mencubit lengannya, bahaya kalau ada siswa lain yang dengar. "Jangan asal ngomong, mang!"
"Abis itu... melototin mang Ujang terus, neng."
"Emang udah begitu matanya, ayo ah pulang." Kataku mendorong punggung mang Ujang agar segera melajukan motornya.
"Pacarnya ngikutin, neng." Teriak mang Ujang.
Yailah.
heheheheHehehHEHEHHEHE, pakabs ni?
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS in LOVE
Ficção Adolescente"Kita tetap pakai prinsip no-relationship di OSIS." -Argi, Ketua OSIS. "Nggak kok, gue gak suka sama Argi." Jihan, anggota BPHOSIS. Keduanya masih tersangkut pada bayangan masa lalu. Dan ketika keduanya sadar, mereka terjebak dalam perasaan yang sam...