xlii. setelahnya

1.6K 84 6
                                    

JIHAN

Mama menyambut kepulangan kami dengan sangat berlebihan. Beliau memasak berbagai macam makanan dengan alasan Ayah akan pulang untuk cuti beberapa hari. Argi hanya tersenyum dengan wajah lelahnya ketika Mama menyuruhnya bertahan sebentar untuk makan malam bersama.

"Mama mau lanjut atur meja makan, kalian ngobrol aja dulu di sini." Kata Mama sambil berlalu masuk ke dalam rumah.

Mungkin Mama sadar ada sesuatu yang terjadi di antara kami. Sejak sampai di rumahku, Argi tidak banyak bicara. Dia hanya menjawab kalimat-kalimat Mama dengan sopan seperti biasanya, kemudian diam saja saat aku ajak bicara.

"Maaf kang, jadi ditahan di sini. Harusnya akang udah istirahat di rumah." Kataku. Sepertinya baru kali ini aku bicara dengan pelan dan selembut yang aku bisa padanya.

Dia menolehkan kepalanya lalu tersenyum padaku. Aku benar-benar kesal dengan senyumnya yang seperti itu. "Nggak apa-apa. Saya bisa tahan kalau harus disuruh tunggu sebentar lagi."

Aku memicingkan mata lalu menarik napas lelah. Ide untuk liburan ke Dufan memang buruk, atau itu hanya karena aku pergi ke sana dengan Argi.

Perasaan menyesal terus bermunculan sejak aku menolak permintaannya untuk menunggu lagi. Jelas aku salah bicara, padahal bukan berarti aku berhenti dengan perasaanku padanya. Sepertinya dulu aku juga pernah bilang akan membiarkan perasaanku mengalir mengikuti waktu, jadi aku tidak mau dikekang jika kejadian seperti Gema terulang kembali. Tidak ada yang tahu juga kalau nanti perasaanku akan hilang untuk Argi.

Seingatku, itu percakapan serius terakhir kami. Baik aku maupun Argi, tidak ada lagi yang menyinggung perihal status. Kembali seperti yang seharusnya, aku bahkan sudah terbiasa dengan segala kegiatan sembunyi-sembunyi yang kami lakukan. Jangan aneh ketika tahu jika ujung dari perang batinku yang merasa sangat bersalah itu adalah tingkah konyol Argi yang bahkan tidak menganggap penolakanku waktu itu sebagai sesuatu yang serius. Ugh, aku benar-benar benci mengingat itu.

Tapi, haruskah aku tetap merasa tenang dan senang-senang saja? Serah terima jabatan ketua OSIS sudah dilaksanakan sejak sebulan yang lalu, jelas sekali aku masih berharap sesuatu terjadi pada kami. Karena perkiraanku salah, meski waktu berlalu pun yang ada perasaanku semakin bertambah besar padanya. Tapi Argi tetap pada sikapnya yang seperti biasa. Aku enggan mengambil pilihan untuk mengingatkannya tentang apa yang seharusnya sudah terjadi di antara kami. Entah, mungkin terlalu takut kecewa?

"Mau makan dulu?" Argi menatapku dengan lembut seperti biasa. Sekolah sudah sepi, saat yang tepat untuk sekedar menghabiskan waktu pulang berdua.

Aku hanya menggeleng. Perasaanku resah meski sudah berkali-kali kutekan dalam dada. Menyebalkannya lagi, aku tidak tahu kenapa merasa resah.

"Kenapa jadi sering kalem? Jangan gitu, saya gak bisa nyembuhin kalau kamu kesurupan."

Aku memicingkan mata mendengar kalimat berisi candaan yang benar-benar tidak lucu itu.

"Oh, Judan ngajak makan bareng." Katanya lagi sambil melihat isi pesan di ponselnya.

"Sama Fiya juga?" Tanyaku antusias. Argi mengangguk.

"Kayak double-date aja."

Aku mematung beberapa saat setelah mendengar ucapanku sendiri. Aih, sial.

"Ha-ha, maafkan mulut tak terbendung ini. Ayo samperin mereka sekarang." Lanjutku saat Argi juga diam.

Aku mengurungkan niat untuk menarik tangannya agar bisa beriringan. Ah, sial lagi. Aku harus membawa alat kejut listrik biar lain kali bisa sadar diri.

"JADI, kapan sahabat gue yang paling menyedihkan ini official?"

Aku melotot tajam saat Fiya mulai beraksi dengan mulut penuh kentang goreng itu lagi.

"Mau pake saus cabe, FIY?" Tanyaku tak kalah penuh emosi.

"Oh, nggak perlu. Nggak kuat sama yang pedasssss, apa lagi sama kenyataan."

Idih. Aku menatapnya yang semakin tidak masuk akal itu dengan kasihan. Heran kenapa Judan bisa bertahan dengan cewek yang tidak tahu arti keselarasan ini.

"Jangan suka ngurusin hubungan orang ya, SAYANG." Judan akhirnya turun tangan, menarik kepala Fiya dengan lengannya.

"Iya-iya! Aku kan cuma lagi ngarepin PJ. Kirain ngajak mereka makan di sini, kita bakalan dibayarin karena udah official. Ternyata... huh, penonton kecewa."

"Maaf karena udah bikin kamu kecewa, Fiya. Tapi kayaknya kita berdua emang gak akan lanjut ke arah manapun."

Aku menjatuhkan sendok dan garpuku begitu saja. Setelah itu telingaku terasa berdenging, seperti enggan mendengar apapun lagi. Bahkan melihat senyum tipis Argi, aku tidak pernah tahu rasanya akan sesakit ini.

OSIS in LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang