ARGI
"Jadi Kang Argi pikir, absen saya dari kumpulan kemarin itu karena perasaan saya ke Akang?" Tanya Jihan. Aku mengangguk mengakui.
"Saya harap kamu bisa profesional, Han. Jangan melibatkan perasaan di organisasi, saya gak mau yang dulu terulang lagi." Jelasku.
"Emang yang dulu kenapa?" Tanya Jihan bingung.
"Nanti aja deh saya jelasin kalau kamu sembuh. Udah malam, gak enak sama orang tua kamu di luar." Jawabku.
Ibunda Jihan sudah kembali beberapa menit lalu bersama Ayahnya juga. Mereka datang dan mengobrol sebentar denganku, kemudian memilih keluar lagi.
"Saya mulai gak suka pembicaraan yang dipotong-potong, Kang." Balasnya dengan nada yang sama sepertiku sebelumnya.
Aku tertawa dan mengacak rambutnya gemas, "cepat sembuh, ya."
.
Dua hari setelah pengakuanku malam itu. Pagi ini Jihan tampak sehat ketika datang ke sekolah dengan diantar ojek seperti biasa. Sengaja aku tidak menghampirinya untuk menghindari banyak pertanyaan ingin tahu yang dia berikan nanti. Ya, itu salahku yang membuat rasa penasarannya muncul. Aku akan menjelaskannya di saat yang tepat nanti.
Selain itu, semua masalah sudah selesai diatasi. Acara kemarin lusa berjalan lancar walaupun tetap ada beberapa hambatan yang masih bisa di-handle. Pun masalah dengan Widya.
Selesai acara kemarin, aku langsung membawanya pergi untuk bicara empat mata seperti apa yang Jihan sarankan. Widya lebih banyak diam dan menggeleng saat kuberi beberapa pertanyaan. Meski tanpa diucapkan pun aku tahu apa yang sebenarnya Widya rasakan, dia iri hati. Di akhir pembicaraan dia hanya memohon padaku untuk tidak memecatnya, dia ingin memberikan surat pengunduran untuk menghindari rasa malu. Aku mengangguk paham memberi dia kesempatan karena bagaimanapun caranya ini ada hal yang sangat sulit diputuskan, aku benci harus memilih mempertahankan atau membiarkan.
Sebelum menutup pembicaraan saat itu, Widya sempat menatapku takut dan bertanya. "Akang ada hubungan apa sama Jihan?"
Aku terkejut namun masih mampu menyampulnya dengan sikap tenang. "Ada hubungan antara pemimpin dan anggota organisasi, maksud kamu hubungan yang seperti apa?" Tanyaku balik.
Dia menggeleng, "saya permisi, Kang. Terima kasih." Pamitnya.
"Woy!" Judan berhasil menendang kakiku hingga aku hampir terjatuh ke dalam kolam ikan yang ada di taman sekolah kalau saja aku tidak berpegang pada pohon.
"Fuck!" Umpatku kesal.
"Aduh itu mulut dijaga ya, Akang ketos." Katanya tertawa geli.
"Nggak lucu." Desisku. Semoga tidak ada orang lain yang mendengar umpatanku.
Judan menyodorkan sebuah amplop bersih. "Dari Widya." Katanya.
"Lo yang pegang aja, di urus sekalian bikin laporan ke Pak Tatang." Balasku tanpa menyentuh suratnya.
"No, problem. Yaudah ayo ke kelas, sayang." Ajaknya lalu merangkul bahuku dengan kencang.
Aku berusaha melepasnya tak kalah kencang, "jijik!"
Wajahnya merengut menjengkelkan, "nyaho lah nu boga kabogoh anyar, jadi weh poho ka batur!" (Tahu lah yang punya pacar baru, jadinya lupa ke teman).
"Siapa yang punya pacar?" Tanyaku bingung.
"Oh... jadi belum. eh kok belum? Katanya udah bilang suka, tapi kok gak jadian?" Tanyanya terlihat bingung sendiri seperti orang bodoh.
"Apa lo gak nanya ya dia mau atau nggak jadi pacar lo?" Tanyanya lagi.
"Emang nggak." Jawabku singkat.
"Kenapa?"
"Karena emang nggak akan ada hubungan apa-apa di antara kita." Kataku jelas.
"Yakin? Oke gue do'ain semoga there's nothing between you two for-ever."
"E-eh ya jangan! Maksud gue, nggak untuk saat ini." Cegahku cepat sebelum dia membasuh wajah untuk mengaminkan do'anya sendiri.
Dia menarik napas pasrah, "gue kira lo nyerah sama prinsip itu."
"Setelah direnungkan, ini emang demi kebaikan semuanya bukan lagi soal dendam."
"Konflik kayak dulu itu wajar untuk setiap organisasi, Gi. Buktinya masalah kayak Widya tetap muncul meskipun ada prinsip no-relationship lo kan?"
"Wajar bukan berarti budaya yang harus dibiasakan. Perlahan, asal prinsip ini diterusin setelah masa jabatan kita, gue yakin masalah kayak gitu akan menipis." Kataku yakin.
"Gue minta lo di sini buat dukung gue, oke?" Tanyaku. Judan mengangguk mengerti, semoga saja setelah ini tidak ada lagi yang dia ungkit kembali.
"Gue jadi curiga, lo nolak prinsip ini karena ada anak Osis yang lo incar?" Tanyaku lagi dengan salah satu alis naik menggoda.
"Apaan!? Gila kali! Gue punya Fiya tersayang." Elaknya. Aku tertawa.
Ponselku bergetar memunculkan pemberitahun sebuah pesan dari Jihan.
From : Jihan BPHOsis
Sy mau ketemu akng pulang sklh nnti!To : Jihan BPHOsis
Ada apa?Hanya selang semenit, pesanku itu mendapat balasannya.
From : Jihan BPHOsis
Sy mau bicara dan tagih jnjiTo : Jihan BPHOsis
Bicara lewat sini aja.From : Jihan BPHOsis
Sy maunya BICARA bukan ngetik!Aku spontan tertawa membaca balasannya. Jihan benar-benar menggemaskan dengan caranya sendiri.
To : Jihan BPHOsis
Siang ini saya diundang ke SMA sebelah untuk datang ke acara mereka, sorry. :)From : Jihan BPHOsis
😠😤To : Jihan BPHOsis
Haha. Dinner this saturday?Oke, aku agak menyesal mengirim pesan barusan.
From : Jihan BPHOsis
Dinner banget? G pantes! -///////-"DINNER! DINNER!" Judan berteriak sambil bertepuk tangan setelah berhasil mengintip ponselku. Beberapa orang menoleh pada kami. Tanpa bicara lagi aku lebih memilih untuk pergi meninggalkannya. Biar saja orang menganggap si waketos itu gila, aku tidak akan mau terlibat.
*gambar hanya pemanis anggap aja Argi sama Judan😂*
Note :
THANK YOU FOR 1K VOTES!!!!! Seriously, aku udah seneng bangetttt :3 makasih sekali lagi buat kalian yang udah sukarela ngevote dan comment :3 maaf karena oil masih banyaaaaaakkkk banget kekurangannya terus suka ngaret terus suka pendek gitu (padahal memang itu konsepnya) ya apa daya pelajar meskipun gak mau menggunakan status sebagai alasan tapi ya memang itu tetap kenyataan :3 ah pokoknya tengkyuh ya:333
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS in LOVE
Fiksi Remaja"Kita tetap pakai prinsip no-relationship di OSIS." -Argi, Ketua OSIS. "Nggak kok, gue gak suka sama Argi." Jihan, anggota BPHOSIS. Keduanya masih tersangkut pada bayangan masa lalu. Dan ketika keduanya sadar, mereka terjebak dalam perasaan yang sam...