xliii. its hurt me too

1.4K 75 8
                                    

"Jangan suka ngurusin hubungan orang ya, SAYANG."

"Iya-iya! Aku kan cuma lagi ngarepin PJ. Kirain ngajak mereka makan di sini, kita bakalan dibayarin karena udah official. Ternyata... huh, penonton kecewa."

Aku menarik napas samar. Mulai agak muak mendengar ocehan pacar Judan yang seperti menyadarkanku lagi pada situasi saat ini.

"Maaf karena udah bikin kamu kecewa, Fiya. Tapi kayaknya kita berdua emang gak akan lanjut ke arah manapun."

Sesaat setelah Jihan menjatuhkan garpunya, aku sadar apa yang baru saja keluar dari mulut sialanku ini. Bodoh. Baru kali ini seorang Argi berbicara tanpa berpikir. Tapi aku pasrah, moodku hancur begitu saja setelah ditampar kenyataan.

"Mabok lo ya?!" Judan meninggikan suaranya, tapi masih cukup rendah untuk didengar pelanggan lain.

Seketika atmosfer di sekitar kami terasa mencekam. Otakku sudah terlalu kosong hanya untuk memikirkan kemarahan yang muncul dari mata Judan, atau genangan air  yang berkumpul di pelupuk mata Jihan.

"Ah, gila." Lagi, Judan menggeram karena aku tetap diam.

"Cukup tutup mulu lo aja kalau gak tahu apa-apa." Desisku yang aku tahu akan sangat membangkitkan emosi Judan.

Fiya menahan Judan saat pacarnya itu hendak bangun dari duduknya. Lihat siapa yang sekarang justru mengurusi hubungan orang lain.

"Udah, kita di sini mau makan. Bukan mau ribut." Jihan mengeluarkan suara serak sembari mengusap pipinya yang basah. Berbicara pelan seperti bukan Jihan yang normal.

Tapi yang lain tetap diam.

"Serius? Kenapa harus emosi sih?" Jihan diam sebentar. "Gue juga udah mikirin hal yang sama kok sama kang Argi." Lanjutnya membuatku semakin merasa kosong dan, sakit.

Selamanya Jihan tidak akan bisa menjadi pembohong yang baik, aku tahu hatinya sakit. Same, Jihan, it's hurt me too.

Aku tahu kenapa belakangan ini dia terlihat sangat tidak nyaman denganku, beberapa kali membuat kami justru berakhir dengan saling canggung. Sesuatu yang aku sendiri sulit menjelaskannya; Jihan pasti terganggu karena janji yang belum aku tepati. Atau mungkin tidak akan aku tepati.

Bukan aku tidak mau. Kalau ditanya siapa yang paling berharap Jihan jadi pacarku, jawabannya pasti aku sendiri. Karena hanya aku dan Tuhan yang tahu seberapa besar rasa ingin memiliki ini ada buat Jihan. Cheesy, but true. Karena sudah cukup lama aku merasa seperti menggenggam tangan seseorang, tapi tidak benar-benar menggenggamnya. Seakan Jihan bisa hilang begitu saja, dan aku tidak punya apapun yang bisa menahannya.

Aku tahu rumor buruk menyebar tentang kami, dan menjadi semakin buruk lagi setelah kelengseranku dari Ketua OSIS. Rumor ini sudah menembus lingkungan organisasi lain dan beberapa siswa biasa. Aku yakin Jihan tidak mungkin tuli soal ini, terlebih karena penolakan dia pada beberapa orang sedikit banyak jadi faktor penebar kebencian. Memang kehidupan remaja itu sulit dan rentan, ck.

Aku bisa saja mengaku sudah lebih dari teman dengan Jihan. Lagipula tanggung jawab dan pengaruhku di OSIS mulai menipis, masa kepemimpinanku pun tidak terlalu bagus untuk bisa dikenang dan dibanggakan. Tapi Jihan masih di sana. Aku tidak mungkin membiarkannya dalam situasi sulit sendirian sedangkan memberi perlindungan malah akan memperburuk keadaan.

So here i am. Jihan... saya harus bagaimana sama kamu?

Aku sudah sangat egois belakangan. Memintanya tetap menjaga perasaan sekaligus menjaga jarak pasti sangat keterlaluan untuk sekarang.

"Kita pergi." Judan berdiri menarik Fiya dari kursinya.

"Loh, Kang!" Jihan protes, suaranya masih serak menahan tangis.

"Biarin si dongo ini buat penjelasan ke kamu, Han. Akang pasti bakal malu banget dengarnya kalau masih di sini." Nada sinis Judan tidak bisa ditutupi, bahkan setelah senyum semanis tadi.

"Saya juga pulang deh. Udah sore, mau hujan."  Kata Jihan setelah cukup lama saling diam setelah kepergian Judan dan pacarnya tadi.

Aku menahannya, tentu saja. "Kita perlu bicara, Jihan."

"Dari dulu, tiap ada masalah kita selalu saling bicara. Tapi gak pernah ada hasil yang pasti, kang."

"Kalau gitu, kita buat hasil yang pasti sekarang."

Dia menggeleng dengan lemah. "Saya butuh waktu sendiri."

Aku menarik napas lalu dengan berat hati mengangguk. "Ayo, saya antar kamu pulang."





Note :
Tolong baca.
Maaf, maaf, maaf sekali karena baru bisa update T^T iya, udah, hujat aja saya yg ga becus ini T^T cerita gak seberapa aja lama banget apdetnya T^T makasih buat yang masih setia nunggu... *krik krik* kalian masih ad kan para reader yg kucintai? T^T

Habis gimana.. H-sedikit lagi UN dan USBN huhuhu ;-;;
Saya mau minta doa nya aja supaya semua dilancarkan dan dimudahkan biar hasilnya memuaskan :'3
Sekali lagi maaf T^T

Rencananya mau saya revisi habis-habisan dan rombak ulang cerita ini, karena kalau lihat ke part-part awal eh bujubuset malu banget saya saking kacaunya T^T

Ya dalam rangka memperbaiki kualitas diri juga sebagai manusia yg tidak ada puasnya hehe tapi gak akan ngerubah inti cerita dan konfliknya kok, jadi hak kelyan mau baca ulang atau nggak (ngarep bangetnya sih dibaca wkwk) dan gak tau juga kapan direvisinya :'v

Udah gitu aja, see you setelah UN!!! Doakan ya T^T

OSIS in LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang