39

1.6K 255 6
                                    

3

2

1

Lampu merah kini berganti menjadi hijau.

Jackson menancapkan gasnya dengan malas, masih tak tahu arah tujuan mereka sekarang.

“Aku pasti orang pertama yang dihubungi ibumu jika kau tiba-tiba menghilang.” cibir Amber sambil melipat kedua tangannya di dada.

“Haruskah aku membuang ponselku sekarang?” tanya Amber basa-basi.

Jackson memutar bola matanya, “Harusnya langsung buang saja, tak perlu kau tanyakan. Jenn, buang ponsel itu sekarang.”

Amber berdecak kesal dan memelototi Jackson dengan geram.

Sementara Jennie malah berbaring di jok belakang —masih asyik bermain game di ponsel milik Amber.

Tidak mau repot-repot memikirkan perjodohan bodohnya dengan segala kerumitannya.

Oh ayolah, dia hanya murid SMA yang cinta kebebasan. Jelas perjodohan sialan itu terlalu konyol di jaman modern ini.

Menjodohkannya? Cuih. Jennie membuang jauh-jauh pikiran itu.

Ia bahkan rela melakukan apapun asalkan hal itu tidak terwujud.

Jennie mulai menggumamkan musik yang tedengar dari soundtrack game yang ia mainkan, sampai layar ponsel Amber tiba-tiba berubah —seseorang menelponnya.

“Sial. Sial. Sial. Eomma-ku menelpon.” Jennie terduduk kaget seraya mengulurkan ponsel itu pada Amber dengan buru-buru.

Amber menghembuskan napasnya kesal.

Ia bahkan sudah memprediksi hal ini.

“Ah. Apa kubilang.”

“Cepat angkat, Am. Kalau kau tidak menjawabnya Eomma-ku akan semakin curiga. Ppali!”

Kakinya ia hentakan sebelum akhirnya menarik ponsel miliknya dengan sama kasarnya.

“Eoh, annyeonghaseyo ahjumma. Maaf aku terlambat mengangkatnya, aku sedang di kamar mandi tadi.”

Jennie mendekatkan telinganya dengan telinga Amber, ingin mendengar percakapan Amber dengan Eomma-nya.

Amber menatap sekilas dengan tatapan sinis yang hanya dibalas Jennie dengan senyum menggodanya.

“A-ah, benarkah? Aku bahkan belum bertemu Jennie sejak malam itu. Apa ponselnya juga tidak bisa dihubungi?”

Wajah Jennie berkerut dan semakin mendekatkan telinganya, menempelkan telinga tepat pada ponsel yang melekat pada Amber —karena tak dapat mendegar sesuatu apapun dari seberang sana.

Ne ahjumma. Aku mengerti.”

Lalu sedetik kemudian Amber mengakhiri panggilan tersebut.

Wae? Eomma bilang apa?”

Jackson ikut melirik Amber karena penasaran.

Yang ditanya malah melipat kedua tangannya dan memejamkan matanya, tidak lupa juga ia menyandarkan tubuhnya —bersiap untuk tidur.

“Am!” teriak Jennie.

“Hey hey ayolah.” sambar Jackson.

Amber tidak menggubris keduanya malah menggeliatkan tubuhnya, mencari posisi yang nyaman untuk tidur.

Kedua sahabatnya kembali ke posisi awal, tidak lagi mencoba mendesak Amber. Mereka tahu Amber adalah orang berpendirian paling teguh yang ada di dunia. Sekali bocah itu mengatakan sesuatu, ia tak akan goyah dengan pendapatnya.

Lihatlah bagaimana gayanya yang menyerupai laki-laki.

Ia bahkan tidak perduli ketika seseorang mengkritiknya, seperti tak ada satu hal pun yang dapat mengubah prinsipnya.

Jennie dan Jackson mungkin adalah orang yang paling mengerti Amber —dibandingkan orang tuanya sendiri.

—atau bahkan diri Amber sendiri.

Sekarang Jennie kembali berbaring di jok belakang. Memanyunkan bibirnya dan mulai bernyanyi melalui gumaman.

Hanya gumaman Jennie yang terdengar didalam mobil.

Lalu beberapa saat kemudian suara dering ponsel Amber terdengar lagi membuat Amber harus membuka matanya dan merogoh benda kecil itu dari kantung jeans-nya.

Alisnya bertaut.

Ia menoleh kebelakang, seraya menyodorkan ponselnya ke arah Jennie.

Memperlihatkan kepada gadis itu siapa yang menghubunginya.

Jungkook.

Jennie mengerjapkan matanya.

Ia menimang-nimang apakah harus menjawab panggilan itu atau tidak.

Walau akhirnya ia tidak mengambil keputusan apapun, saat panggilan itu terputus seketika.

“Tsk. Gadis ini. Dimanapun membuat masalah. Jadi, kapan kau berencana memutuskan hubungan dengan si malang Jeon Jungkook?”

Jennie memangku dagunya dengan tangan seraya menatap jauh ke jalan raya.

“Entahlah. Menunggu sampai ia muak padaku, mungkin?”

Jackson melirik, “Woah. Apa ada yang spesial antara kau dan dia? Tumben sekali menunggu seorang pria muak terhadapmu. Bukankah harusnya sebaliknya?”

Molla.”

Amber mulai tertarik dengan pembicaraan ini, “Jadi kau menyukainya, Jenn?”

Tentu saja pertanyaan itu langsung membuat alis Jennie berkerut dan menggelengkan kepalanya malas, “Aku tidak tahu.”

“Woah,woah, woah. Bukannya menjawab tidak, tapi malah tidak tahu? Heol~ Akhirnya uri Jennie jatuh cinta dengan seorang pemuda.”

Jennie mencubit keras lengan Jackson, “KAU!”

Mwo mwo?” Jackson memajukan bibirnya dua centi.

Amber tertawa keras, “Haha, kau menyukainya!”

to be continued

ON AND ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang