22. Rain

9.5K 798 78
                                    

Dia masih berdiri di depan pagar rumahku, Lee Taeyong dan keras kepalanya adalah perpaduan yang selalu membuatku pusing. Air mataku jatuh, yang segera aku hapus. Perasaanku saat ini bercampur aduk, ada rindu, namun juga ada rasa takut membuatku semakin sakit. Saat aku mulai terbiasa tanpa dia, kenapa dia harus datang lagi?

Noona kenapa kau menangisi laki-laki yang sudah membuatmu menderita,” ujar Eun Woo yang masih emosi dengan Lee Taeyong.  Mendengar kata-kata Eun Woo aku justru semakin sulit untuk berhenti menangis.

“Eun Byul-ah kau kenapa?” tanya Ibu. Aku tak menjawab, aku hanya ingin menangis.

“Noona, aku mohon berhentilah menangis!” bentak Eun Woo yang sepertinya sangat kesal denganku, “haruskah aku menghajar dia lagi?”
“Jangan lakukan itu!” Aku melarangnya keras. “Aku baik-baik saja,” ucapku meyakinkan Eun Woo.

“Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak tahan melihatmu begini. Ayah dan ibu mungkin tidak tahu kalau kau sering terbangun tengah malam dan kemudian menangis diam-diam. Tapi aku jika kau hanya bersikap sok kuat, seolah semua baik-baik saja!” Eun Woo mengeluarkan semua kekesalannya padaku. Ibu terlihat terkejut akan itu, aku juga terkejut karena selama ini tidak tahu, Eun Woo melihatku menangis di tengah malam.

“Kenapa kau menanggungnya sendiri?” tanya ibu sambil memelukku.

“Aku memang baik-baik saja!” tegasku.

“Terserah kau saja, Noona! Biarkan saja laki-laki itu di luar, jika dia lelah dia juga akan pergi!” Eun Woo meninggalkan aku begitu juga dengan ibu.

Tubuhku terasa sangat lemas sekarang, tenagaku habis untuk memikirkan semua ini. Senja mulai menyapa seiring hilangnya matahari yang kemudian digantikan oleh segaris senyuman bukan sabit meski mulai tersamarkan oleh awan yang mulai menghitam. Dari jendela kamarku, aku melihat jelas dia masih berdiri di tempat yang sama.

“Keluarlah temui dia!” ujar Ibu.

“Tidak!” tolakku tegas.

“Meskipun kau tidak ingin kembali padanya, kau bisa menyuruhnya pulang!” Ibu berusaha membujukku.

“Tanpa aku suruh pun, dia pasti akan pergi setelah merasa lelah!” Aku mencoba membekukan hatiku, aku tak ingin goyah. “Aku lelah aku ingin tidur!” Aku segera menyembunyikan diriku dalam selimut. Aku menangis dalam diam, aku tidak ingin ibu tahu jika aku sedang menangis.

“Terserah kau saja!” Aku mendengar suara pintu tertutup yang artinya  Ibu telah pergi meninggalkan kamarku.

Hawa dingin mulai menyusup ke dalam kamarku melalui jendela kaca yang belum aku tutup. Langit semakin menggelap, angin berembus kencang. Kilatan-kilatan cahaya terlihat membelah langit. 

Duarrrr! Duarrr!!

Semakin lama suara petir itu semakin tak kendali, gemercik air mulai terdengar dan semakin lebat. Aku langsung memikirkannya, aku harap dia sudah pergi. Namun harapanku tidak dikabulkan, dia masih berdiri di tempatnya. Membiarkan air hujan dan dinginnya air menerpanya.
Bodoh! Aku mengaku kalah, dia meruntuhkan pertahankanku. Bukan karena dia yang kuat, mungkin aku yang terlalu lemah.  Dia mengambil segala logika dan kewarasanku. Aku berlari, seperti atlet maraton yang mengajar garis akhir.

“Dasar bodoh!” teriakku.

“Kenapa kau di sini tanpa payung?” tanyanya sambil memayungiku dengan kedua telapak tangannya.

My Strange Husband  I & IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang