"Makasih ya ka, sumpah makasih banyak loh."
"Sama-sama," sahut Alvaro masih dengan senyuman. "Ya... hitung-hitung permintaan maaf gue soal yang kemaren."
Senyum lebar yang menghiasi wajah Alvina seketika menghilang. Hatinya terasa sakit saat mendengar ucapan Alvaro.
Tapi dengan segera ia mengembalikan senyuman di wajahnya.
"Tanpa lo ngasih ini juga sebenernya udah gue maafin," Alvina kembali menatap pria di sampingnya.
"Anggep aja itu hadiah dari gue," kata Alvaro lalu melirik ke arah rumah di sampingnya. "Ini rumah Adara?" lanjutnya.
Sebelum mengangguk Alvina sempat menoleh ke arah yang sama.
"Ya udah gue masuk dulu ya ka," setelah mendapat anggukan dari Alvaro, dengan segera ia keluar dari mobil itu. Tak lupa ia kembali mengucapkan terima kasih.
Alvina berjalan ke arah gerbang kecil yang di jaga oleh seorang satpam.
"Eh mbak Vina, kemana aja?" Satpam itu sudah kenal dengan Alvina, karena dulu saat masih SMP hampir setiap hari Alvina dan Rain datang ke rumah ini. Jadi jangan heran jika para pekerja di sini akrab meraka.
"Ada ko pak, cuman kan baru masuk jadi harus tampil rajin dulu." Pria paruh baya yang biasa di sebut Pak Ujang itu tertawa mendengar jawaban Alvina. lalu Alvina masuk setelah pintu gerbang itu terbuka.
"Vina masuk dulu ya pak."
Dengan sedikit tergesa Alvina memasuki rumah itu dan berjalan ke arah kamar Adara. Ia tidak sabar untuk menceritakan kejadian tadi kepada kedua sahabatnya. Terlihat beberapa pekerja wanita di sini sedang mengobrol atau lebih tepatnya ngegosip di taman belakang.
Suara dentuman lagu yang sangat keras terdengar dari kamar Adara. Jangan tanya Alvina itu lagu apa, karena ia pun tak mengetahui lagu itu.
Ia menggelengkan kepalanya ketika membuka pintu bercat putih itu. Bagaimana tidak, Alvina melihat Adara tengah membaca novel di atas kasur dengan kuping yang di sumpal oleh benda kecil berwarna putih yang terhubung ke ponsel. Sedangkan di sofa terlihat Rain memainkan ponselnya masih sama menggunakan Headseat. Lalu untuk apa menyalakan lagu dengan volume penuh seperti ini?.
Dengan segera Alvina mematikan lagu itu. ia tidak mau kupingnya menjadi korban dari ganasnya lagu tersebut.
"Kenapa di matiin?" tanya Rain mengernyit.
"Ya lo kaya orang bego, nyalain lagu gede-gede tapi malah pake headset." Alvina menaruh tasnya di meja belajar lalu duduk di sebelah Rain. Tak lupa kotak pemberian Alvaro berada di tangannya.
"Gue pake headseat cuman properti snapgram doang, lagunya mah ga adaan."
"Najis, alay amat lo." cibir Alvina.
"Oh ya Rain- Anjir!" Adara terlonjak kaget ketika melihat Alvina di sofa. "sejak kapan lo dateng?"
Alvina memutar bola matanya. Begitulah temannya yang satu ini, jika sudah memasuki dunia khayalan ia akan lupa dengan keadaan sekitar. "Sejak bom di Hiroshima meledak."
"Pas bom di Hiroshima meledak, gue belum ada bahkan belum direncanakan dan rumah ini juga belum di bangun Vin." Adara memasang ekspresi sok polos.
Alvina memutar bola matanya malas. Lalu berjalan ke arah kasur berukuran Queen size itu dan merebahkan dirinya di samping Adara. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman ketika memperhatikan kotak berwarna merah maroon pemberian kekasihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pain
Teen FictionAlvina Florien menyukai kaka kelasnya sendiri. Memang itu hal yang lumrah. Ia hanya bisa memandanginya dari jauh dan berharap suatu saat nanti ada keajaiban yang membuatnya dekat dengan sang pujaan hati. Sampai suatu hari permainan Truth or Dare ya...