Alvina menurunkan tas ranselnya yang terasa sangat berat. Ia menoleh kesana kemari mencari kedua sahabatnya. Namun tak terlihat batang hidung mereka. Alvina merogoh sakunya dan mengeluarkan benda pipih yang berwarna silver. Dicarinya kontak Rain lalu di tempelkannya benda itu ke telinganya.
"Lo dimana?" tanyanya langsung pada Rain di sebrang sana.
"Gue bentar lagi sampe,"
"Ya udah gue tunggu di deket bus."
Alvina kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah menghubungkan headseat di ponsel tersebut. Ia melihat sekitarnya dan banyak para siswa-siswi yang berlalu lalang. Tak sengaja matanya melihat Ezra yang tengah menulis sesuatu di beberapa kertas.
Jangan ditanya bagaimana bencinya dia terhadap Ezra. Orang yang hampir saja membuatnya bertengkar dengan Adara. Untung saja Adara tak salah paham dengannya.
***
Setelah pulang sekolah, Alvina dan Rain langsung menuju rumah Adara. Gadis itu pergi entah kemana setelah kejadian tadi, meninggalkan pelajaran terakhir yang masih tersisa.Sampai di rumah Adara, orang yang dicari tak ada. Dan itu membuat Alvina maupun Rain khawatir. Mereka takut kejadian lama terulang kembali.
Setelah beberapa jam menunggu hingga malam tiba. Orang yang di cari pun akhirnya pulang. Adara terlihat baik-baik saja. Tak ada jejak air mata di wajahnya.
"Loh Vin? Rain? Dateng kapan?" tanya Adara bingung.
Alvina terdiam. Ditatapnya gadis itu dalam membuat Adara mengerutkan keningnya. Alvina maju selangkah dan langsung memeluk Adara.
"Lo dari mana sih?! kenapa pergi ga bilang? Ga tau apa gue khawatir! Kalo mau pergi tuh bilang dulu, mana cabut pelajaran terakhir!" cerocos Alvina seperti seorang ibu yang tengah memarahi anaknya.
Adara membalas pelukan Alvina sambil terkekeh. "Tadi gue pergi sama ka Rey, terus gue lupa ngabarin lo hehe," Ditepuknya punggung Alvina pelan "lagian lo lebay banget sih Vin."
Alvina melepaskan pelukannya dan menatap Adara. "Gue cuman takut lo ngelakuin hal yang macem-macem gara-gara tadi."
"Maksud lo gue bakalan bunuh diri gitu?!" suara Adara naik satu oktaf dan Alvina hanya mengangguk sambil mengusap ujung matanya yang sedikit berair dengan kasar. Tanpa disadari ia menangis.
"Dih alay banget gue bunuh diri cuman gara-gara cowo kaya gitu, ketemu EXO aja belum masa udah bunuh diri!" Adara menatap Alvina tajam seraya berkacak pinggang. Kesal karena sahabatnya itu berfiikiran macam-macam.
"Kan gue kira lo kaya kids-kids jaman now gitu. Btw lo ga marah sama gue?"
"Ya ngga lah, gue ga mau persahabatan yang udah bertahun-tahun ini hancur cuman karena satu cowok."
Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Alvina. Matanya mulai berkaca-kaca. perasaan lega dan senang menjalar di hatinya. Sebelumnya ia merasa sangat takut jika Adara marah.
Tanpa mengucapkan apapun, Alvina kembali memeluk Adara dengan perasaan senang. Yang di peluk pun hanya terkekeh karenanya.
Rain terdiam mengamati kedua orang di depannya. Tak bisa dipungkiri bahwa dirinya pun terharu melihat kedua sahabatnya itu. memang sedari dulu, tak pernah ada pertengkaran besar diantara mereka bertiga, hanya pertengkaran kecil yang di selingi oleh candaan.
"Oke sip kayaknya gue dilupain." Ucap Rain melipat kedua tangannya.
Alvina dan Adara melepaskan pelukan mereka menoleh ke arah Rain. keduanya tertawa melihat wajah Rain yang ditekuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pain
Teen FictionAlvina Florien menyukai kaka kelasnya sendiri. Memang itu hal yang lumrah. Ia hanya bisa memandanginya dari jauh dan berharap suatu saat nanti ada keajaiban yang membuatnya dekat dengan sang pujaan hati. Sampai suatu hari permainan Truth or Dare ya...