"Rain, tolong ambilin kemiri!" seru Adara yang tengah mengaduk masakannya. Beberapa menit kemudian Rain kembbali dan memberikannya. Namun bukan kemiri yang diambilnya.
"Kan gue mintanya kemiri, kenapa jadi merica?" Adara menyodorkan kembali merica yang dibawa Rain.
"Emang beda ya?" tanya Rain balik dengan wajah polos.
"Ya bedalah," Adara menggeleng heran.
Rain memberengut sebal. Dia memang jarang sekali memasak, bahkan bisa di hitung pakai jari. Orang-orang dirumahnya keras Rain memesak karena khawatir terluka. Terakhir adalah dua tahun yang lalu, saat di rumah tak ada siapapun, Rain mencoba memasak mie instan. Ia berhasil membuat dapurnya hampir kebakaran dan berujung mami dan kakaknya berceramah panjang lebar.
"ALVARO!!! ANAK ORANG LO APAIN?!!" teriakan Nindya dari dalam tenda kesehatan mampu menarik para murid. Termasuk Adara dan Rain.
Betapa terkejutnya mereka kala melihat Alvina yang tak sadarkan diri berada di gendongan Alvaro. cowok itu terlihat berantakan dan wajahnya terlihat sangat pucat. Nafasnya pun tersenggal-senggal. Diletakkannya Alvina brankar secara perlahan.
Adara segera menghampiri Alvina dan mengecek urat nadi gadis itu. gerakannya sangat lemah. Rain, dengan tergesa-gesa memasangkan alat bantu pernapasan yang tersedia di sana. Adara meminta Dissa untuk memanggilkan dokter yang seharusnya berjaga di sini tapi malah hilang entah kemana.
"Gue gak kasih dia apa-apa, kecuali kue buah naga yang dibikin-" Alvaro mencoba menjelaskan apa yang terjadi.
"KENAPA LO KASIH DIA BUAH NAGA?!" teriak Adara tepat di hadapan Alvaro.
"Dar! Kita harus bawa Vina ke rumah sakit!" ujar Rain setenggah berteriak. Tak ada waktu lagi, jika terlambat Alvina aka kehilangan nyawanya.
Tanpa diperintah Alvaro segera membopong Alvina menuju mobil yang ia bawa. Rain dan Adara mengikutinya dari belakang. Lokasi rumahh sakit cukup jauh dari tempat camping yang berada di daerah pegunungan. Untung saja jalan yang dilalui tidak terlalu rusak menjadikan Alvaro mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Sampai di jalan raya bukannya memperlambat lajunya, Alvaro malah semakin menambah kecepatan mobilnya hingga beberapa pengendara mencaci makinya.
"Pelan-pelan bego! Lo mau ngebunuh kita!!" omel Rain yang duduk di sebelah Alvaro. Hilang sudah sopan santunnya terhadap kakak kelas.
"Dar Vina gimana?" tanya Alvaro sedikit melirik ke belakang.
"Mukanya makin pucet lo bawanya cepetan!" Adara melirik Alvina sekilas.
"Tadi suruh pelan sekarang cepet." Gerutu Alvaro kesal.
"Lo harus cepet tapi juga hati-hati patuhi semua aturan lalulintas!"
"Bacot!" umpat Alvaro. Kesal karena dalam keadaan seperti ini Rain malah berceramah.
***
Sudah hampir setengah jam Alvina berada di UGD tapi dokter belum juga keluar. Adara dan Rain, mereka sudah mengangis sedari tadi sedangkan Alvaro terduduk di lantai dengan kepala yang menunduk. Dengan lemas dihampirinya dua gadis yang tengah duduk di kursi tunggu.
"Sebenernya Alvina kenapa?" tanya Alvaro lembut.
Rain menghela nafas lalu menjawab. "Dari kecil dia alergi berat sama buah naga, istilah kedokterannya apa ya?" gumamnya.
"Anafilaksis." Sahut Adara.
"Iya, Anafilaksis," ujar Rain lalu melanjutkan. "Makan sedikit aja itu bisa berakibat fatal buat dia, susah bernapas, tekanan darah turun, denyut nadi jadi lemah, dan kalau terlambat bisa menyebabkan kematian." Jelas Rain dengan sesekali terisak. Siapa yang tidak sedih jika sahabatnya tengah berjuang untuk hidup?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pain
Teen FictionAlvina Florien menyukai kaka kelasnya sendiri. Memang itu hal yang lumrah. Ia hanya bisa memandanginya dari jauh dan berharap suatu saat nanti ada keajaiban yang membuatnya dekat dengan sang pujaan hati. Sampai suatu hari permainan Truth or Dare ya...