"Berhasil, Merebut Sebagian Hatiku."
********
Pagi itu matahari Jakarta telah bersinar tidak terlalu panas, masih bisa ditutupi oleh gumpalan awan di atas langit sana. Pagi di pertengahan Juli menjadi awal untuk semester ganjil terbaru. Aku dan mungkin seluruh murid berseragam sekolah di Indonesia, harus kembali lagi ke sebuah aktivitas wajib yang sudah diamanatkan oleh para Menteri Pendidikan terdahulu. Kembali menekuni pelajaran di sekolah.
Banyak banget wajah baru yang nggak bisa aku kenali. Karena, mereka adalah para peserta didik yang telah berhasil diseleksi pihak Yayasan Bina Bangsa. Mereka yang nantinya akan menjadi adik kelas satu tingkat di bawahku.
Dan yes! Kini aku bukan lagi seorang Lusa yang menjadi bawahan-bawahan para kakak kelas terdahulu. Aku sudah menjadi kakak kelas. Satu tingkat lebih teratas lah derajatku istilahnya.
Empatpuluh menit yang lalu, aku sedang berdiri di barisan kelas Sepuluh Dua, mengikuti upacara pembukaan untuk menyambut para anak baru. Membakar diri di tengah-tengah matahari pagi yang sebenarnya bagus untuk kesehatan kulit. Tapi tetap saja, yang namanya cewek pasti nggak bakal betah lama-lama berdiri mendengarkan pidato yang katanya satu dua patah kata dari sang Kepala Sekolah sekaligus berdiri di bawah guyuran sinar matahari.
Sekarang aku sudah terselamatkan. Duduk di pinggiran koridor dekat lapangan utama, untuk melihat anak baru yang sedang di MOS oleh anak OSIS.
Tidak terlalu menonjolkan sisi senioritas memang. Tapi yang namanya manusia, memang masih punya sisi belagu. Hanya karena derajatnya sebagai kakak kelas, mereka malah menggunakannya dengan salah.
"Jangan gitu Mela!"
Suara ribut-ribut di tengah lapangan sana berhasil menarik minat beberapa pandang mata termasuk aku. Ada kakak kelas yang aku tahu namanya Mela, dia itu termasuk murid yang sedikit bermasalah di sekolah, tapi nggak tahu kenapa bisa terpilih menjadi anggota OSIS. Gaya si Mela daritadi itu memang terlalu menunjukan bahwa dia kakak kelas bak seorang ratu, yang harus dipatuhi apa pun itu keinginannya.
"Lo disekolahin itu untuk jadi pinter atau jual nilai senioritas lo itu yang bahkan nggak ada apa-apanya, eh?"
Seorang cowok yang aku yakin dia masih satu angkatanku ---berarti dia ada di satu tingkat di bawah Mela, langsung menyela ucapan OSIS lain yang baru saja ingin mengomeli Mela. Cowok yang memakai almamater berwarna cokelat susu kebanggaan OSIS itu memandang Mela tajam. Raut wajahnya tidak ada ketakutan sama sekali walau dia itu sepertinya sadar sedang mengomeli Kakak kelas.
"Lo anak kecil jangan belagu lah!" Mela membalas membentak.
Pertarungan sepertinya makin memanas.
"Gue anak kecil?" cowok itu menunjuk dirinya sendiri. "Kalau gue anak kecil, gue bakalan masuk di play group. Bukan SMA ini!"
"Masih Adek kelas aja udah songong lo!"
"Nggak liat diri lo sendiri? Sok-sok jadi senior apa sih laga-lagaan begitu? Cuma bisanya malu-maluin nama OSIS aja lo. Nggak guna!"
Sehabis itu aku tidak tahu kata-kata apalagi yang dibalas Mela ke cowok yang kuakui pemberani itu. Karena bel berbunyi, Guru Piket yang suka banget ngider sudah memelototi siapa pun murid yang masih berkeliaran di koridor, bukannya masuk kelas.
Dan saat ini, beberapa bulan kemudian, aku kembali melihat pertarungan antara cowok pemberani itu. Kali ini bukan dengan Mela si Kakak kelas sok belagu. Melainkan dengan sekumpulan yang lagi-lagi Kakak kelas yang beberapa menit lalu baru saja melawan tim cowok pemberani itu bermain bola.
KAMU SEDANG MEMBACA
Esok
Teen FictionAku yakin, saat aku menyukainya aku tidak sedang mengalami penyakit Skizofrenia. Karena untuknya terlalu indah jika hanya dijadikan khayalan semu semata. Dia, lelaki yang aku juluki 'Si Pemberani' hanya karena membentak balik Kakak OSIS yang memang...