Satu. Dua. Tiga.
Semua murid memberi salam perpisahan dengan senyum lebar yang menghias di bibir mereka masing-masing. Begitupun aku, bibir yang tadinya menekuk kesal kini telah berubah, menjadi bak jelmaan dari bulan sabit.
"Alhamdulillah! Free class!"
Bibirku makin membentuk senyuman. Ya Tuhan, kenikmatan seperti ini adalah yang aku tunggu-tunggu. Apalagi kalau bukan kelas nggak ada jam pelajaran. Gara-gara Gurunya sakit. Serius deh, aku bukannya senang kalau Guru sakit, tapi ya karena si sakit itu kelasku tidak perlu menghapal kumpulan materi yang sulit.
Kejadian seperti ini sangat langka. Seperti makin ke sini, makin punah. Aku langsung berlari ke luar kelas. Sumpah. Akhirnya aku berhasil keluar juga dari kelas tersumpek yang pernah aku singgahi. Sebenarnya, nggak sumpek-sumpek banget. Toh, kelas dilengkapi oleh dua pendingin udara di dinding-dinding samping. Luas kelas juga lumayan besar untuk ditempati tigapuluh bangku dan kursi, plus satu set meja Guru. Tapi, karena kelas sedang keadaan jam pelajaran kosong, rasa sumpek itu langsung menyerbu secara mendadak.
Tigapuluh orang murid yang sebelumnya hanya bisa duduk pasrah di bangku masing-masing mendengarkan materi yang disampaikan Guru, seketika langsung berubah layaknya sekumpulan anak ayam yang baru saja dilepas dari kandangnya. Sorakan kegembiraan terdengar dari mana-mana. Helaan napas lega juga tidak ketinggalan. Hanya dikarenakan dua jam dari sekarang, kelas tidak ada yang mengajar. Bebas dari Guru PPKN yang terkenal karena killer, bebas mau melakukan apa saja, karena tidak akan ada yang melarang.
Mereka bahagia. Langsung membentuk kelompok-kelompok setelah meja dan kursi didorong oleh para anak lelaki ke belakang. Ada yang bernyanyi, tidur, update insta-story, ada juga yang pergi entah itu ke kantin atau ke warkop belakang sekolah.
Sedangkan aku? Tiga detik pintu dibuka, aku langsung keluar menyelamatkan diri. Tidak ada keinginan dari diriku untuk bergabung bersama mereka yang menikmati jam kosong di kelas. Bukannya aku termasuk siswa yang tidak mempunyai solidaritas kepada yang lain, aku cuma malas kalau hanya diam-diam di kelas. Paling bantar, ujung-ujungnya memuji ketampanan para makhluk Adam dari jurusan atau kelas tetangga. Unfaedah banget.
Lebih baik aku mengasingkan diri, pergi entah itu ke kantin atau UKS. Itu juga bakalan aman kalau tidak ketahuan Guru piket yang nggak bisa duduk diam di mejanya, alias ngider-ngider cari murid yang membolos atau berkeliaran pada saat KBM masih berlangsung.
"LUSA!"
Aku baru saja berbelok untuk ke ruang musik, telingaku malah mendengar suara entah siapa itu yang meneriaki namaku dengan lantang. Masalahnya koridor ini masih amat sepi, pasti namaku yang baru saja diteriakan akan menggema ke ruang-ruang kelas.
"Mau ke mana lo?"
Saat aku menoleh ke belakang. Aku langsung mengembuskan napas lega. Untung itu cuma si Rigon, bukan Guru piket yang lagi ngider.
"Ruang musik kali? Gue juga nggak punya tujuan," balasku.
Rigon mengangguk. Aku melirik tangan Rigon yang membawa sekiranya duapuluh lima buku paket berhalaman cukup tebal. "Lo nggak ngerjain PR Biologi, lagi?"
Memang dasarnya Rigon itu gandeng bukannya marah karena aku sindir barusan, cowok itu malah menyengir seakan dia tidak melakukan kesalahan.
"Ck, abisnya gue mager banget ngerjain. Salahin aja yang ngasih soal, ngapa susah-susah banget."
Aku menggeleng tidak percaya. Ada ya, orang sejenis Rigon yang dengan senang hati melaksanakan hukuman karena kesalahannya yang itu-itu saja. "Tobat lo tobat. Belum aja gue panggil Guru Agama buat ngerukiyah lo!"
"Udah ah, gue mau naro ini ke perpus." Rigon membenarkan letak buku di pangkuan tangannya. "Sono lo! Balik ke alam lo. Nyanyi jangan gede-gede, kesian gue sama yang lewat ruang musik, kupingnya bisa budeg nanti."
Aku hanya memandang Rigon sekilas. Lalu melengos begitu saja dari hadapannya. Percuma saja jika tadinya aku pamitan demi menjunjung kesopanan, toh si Rigon aja nggak ada sopan-sopannya sama sekali.
Aku melanjutkan langkah ke ruang musik. Membuka sepatu dan menaruhnya di rak yang sudah disiapkan di depan pintu. Perlahan tanganku mendorong gagang pintu. Sayup-sayup telingaku mendengar ada suara genjreng-genjreng gitar yang dimainkan asal.
Oh, ada orang lain di sini, selain aku?
Melangkah mendekat hingga netraku melihat sebuah punggung yang berlapis kemeja putih sama yang seperti yang aku kenakan. Dia memakai celana kotak-kotak berwarna hijau bercampur merah maroon. Ah, orang itu berjenis kelamin sama seperti Rigon. Laki-laki.
Seperti dia merasakan auraku yang semakin mendekat, dia menoleh. Detik itu pula aku menegang. Pikiranku gamang, antara mau melanjutkan langkah ke arah bangku di sampingnya atau berlari balik ke kelas sumpek tadi.
"Lo vokalis band sekolah 'kan?"
Aku rasa, aku tidak akan bisa mengambil opsi kedua tadi. Aku terjebak. Karena pertanyaannya.
Masih dalam keadaan shock aku mengangguk kaku. "Iya, kenapa?" untungnya suaraku tidak keluar gagap.
"Nyanyiin gue dong," pintanya.
"Lagu apa?"
"Apaan kek, gue lagi galau nih."
Memangnya aku nanya. Gitu?
Aku mendekat. Duduk di samping dia yang masih menunggu jawaban dariku, sepertinya. "Secret Love Song?"
"Kurang pas."
"Despacito?" tawarku ragu karena setahuku itu bukan lagu galau-galauan.
"Lo mau ngajak gue maksiat? Baru aja gue tobat."
Jika yang menjawab seperti itu Rigon atau teman cowok yang lain dapat dipastikan tawa ngakak so hard ala-ku akan berderai sekarang juga.
"Terus apaan?" tanyaku, malas juga akhirnya.
"Lagu Maudy Ayunda yang Untuk Apa lo tau, nggak?"
Aku lagi-lagi mengangguk sambil menahan ledakan tawa geli. Ya Tuhan, selera cowok di depanku sekarang adalah macam Maudy yang menjadi inspirasi untuk diriku sendiri. Gimana enggak, udah cantik, suara bagus, lulusan Oxford University, punya doi yang jabatannya CEO, kurang apa lagi coba dihidupnya?
"Woy! Ayo nyanyi. Galau nih gue."
Ya terus, kalau situ katanya galau saya harus bilang WOW sambil guling-guling dari lantai tiga, gitu?
Detik berikutnya setelah aku mengangguk lagi dia mulai memetik gitarnya. Kali ini bukan genjrengan asal yang kudengar. Namun sebuah alunan melodi yang dia buat, membuatku membuka mulut lalu ikut melantunkan lagu galau yang tadi telah dipilihnya.
Demi cireng nasi yang dicampur bumbu kabe, aku ingin menjerit sekarang juga!
Hampir bait terakhir yang aku nyanyikan, Esok di depanku mengangkat kepala. Menatapku dalam, sambil tangannya tetap memetik gitar, menghasilkan sebuah alunan melodi yang seakan menjadi daya pikat tersendiri di telingaku. Entah ini karena apa, mataku terkunci oleh tatapan mata hitamnya.
Aku tenggelam. Aku tidak bisa lagi keluar untuk menyelamatkan diri. Tuhan, aku ingin bola mata itu untuk menatapku setiap hari di kala aku baru bangun tidur nantinya.
Bolehkah?
Namun adegan romansa yang terjadi itu dalam sekejap langsung hilang. Tergantikan oleh tatapan melotot dari mataku juga Esok. Di pintu sana, ada seorang Pak Aryadi, Guru Piket yang sudah mendobrak pintu ruang musik sekaligus menghentikan adegan tatap-tatapan antara aku juga Esok.
Dasar pengganggu!
"Mati, ketauan bolos gue."
**********
A/N : BAHAHAHA. Sebelumnya sori-sori kalau alur part ini copy dari prolog. Tapi-tapi emang seperti ituuu alurnya ceritanya. Part depan udah masuk ke puncak masalah nggak nih?!
Hadeh. Hadeh. Alurnya lambat banget ya? Kayak nunggu doi peka. Tapi emanh begitcuuuuu. Babayyyy!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Esok
Roman pour AdolescentsAku yakin, saat aku menyukainya aku tidak sedang mengalami penyakit Skizofrenia. Karena untuknya terlalu indah jika hanya dijadikan khayalan semu semata. Dia, lelaki yang aku juluki 'Si Pemberani' hanya karena membentak balik Kakak OSIS yang memang...