T U J U H

64 8 2
                                    

"Jangan Pernah Berburuk Sangka Dulu Sama Tuhan."

********

Katanya, hidup itu berputar. Ada kalanya kamu sedang berada di atas, merasa sangat bahagia karena apa yang selama ini kamu capai terwujud begitu saja. Sampai seolah lupa, tidak lagi pernah melihat ke bawah, bagaimana dulu menjalani hidup dengan susah payah. Dan suatu ketika, saat roda kehidupan mulai berputar kembali ke bawah, semuanya seakan salah.

Hanya bisa menyalahkan kepada-Nya. Sang Penguasa Alam Semesta. Hanya bisa mengolok dan tidak menerima takdir yang telah diberiNya.

Aku pun begitu. Akal pikiranku sempat pernah terbuai, kala sudah dua kali aku diantar oleh Esok menggunakan sepeda motor kesayangannya. Rasanya, tidak terdefinisikan ada sebuah rasa yang tiba-tiba muncul saat aku menghirup bau parfum Esok, lalu menguat bersama rasa pudar yang kemarin sempat hadir.

Tapi kini, aku merasa sedang ditampar oleh kenyataan secara tidak langsung. Dua kali ditawari boncengan bukan berarti Esok itu ada sedikitnya punyaku 'kan?

Nyatanya aku tidak pernah memiliki Esok secuil pun. Karena memang, sepertinya Esok bukanlah yang aku butuhkan. Sehingga Tuhan hanya meminjamkannya padaku sebentar, lalu mengembalikannya kembali ke si pemilik asli.

Ola.

Cewek berambut panjang yang mempunya bolongan samar di pipinya ketika sedang tersenyum. Gayanya seperti perempuan remaja zaman kini. Selalu bisa terlihat modis dengan out fit yang dikenakannya. Seperti sekarang, walau hanya memakai seragam sekolah, Ola selalu bisa membuat semua lelaki yang ada di Bina Bangsa tidak segan untuk sekedar menyapa dan berbasa-basi dengannya.

Itu pula yang sedang dilakukan oleh Esok. Netraku menatap tubuh lelaki itu berjalan, mendekati Ola yang berada di pinggir koridor. Begitu dekat dengan Ola, tangan kanan Esok terulur ke puncak kepala Ola. Mengusapnya pelan, lalu menundukkan kepala. Sepertinya sedang membisikan sesuatu yang menyenangkan, bisa dilihat karena sehabis Esok kembali menegakkan tubuhnya, tawa Ola berderai. Sesekali tangannya menepuk lengan Esok secara gemas.

"Kalau sakit ya nggak usah diliatin atuh."

Aku cuma bisa tersenyum pedih. Melirik ke arah Rigon yang sekarang sudah berjongkok di depanku. "Sial banget ya nasib gue?"

Rigon tertawa sebentar. "Semua itu akan indah pada waktunya, Lusa. Mungkin, sekarang waktunya Esok sama doi yang lagi indah. Siapa tau, seterusnya semua waktu yang tersisa di bumi ini punya lo sama Esok buat ngerasain hal yang namanya indah," katanya Rigon

"Jangan pernah berburuk sangka dulu sama Tuhan," lanjutnya lagi.

Aku mencari kebohongan di bola mata Rigon yang sedang menatapku dalam, nyatanya tidak ada. Jika situasi sedang seperti ini rasanya aku benar-benar nggak kenal dengan Rigon. Mana mungkin, Rigon yang selalu hadir dengan cengiran konyolnya kini menjelma menjadi sosok yang pintar merangkai kata.

"Kalau gue bisa, gue mau suka sama lo aja, Gon," ujarku perlahan sambil terkekeh kecil.

"Dih gue yang embung suka sama lo. Malesin banget punya pacar seorang Kaylusa yang suka nganiaya gue!"

"Lah apa kabar gue? Males banget kali punya pacar sejenis lo!"

Rigon bangun dari jongkoknya. Tangan kanannya menepuk dua kali kepalaku. "Mencintai seseorang dalam diam itu sama aja perlahan-lahan lo merelakan hati lo untuk kembali patah tanpa berani ambil tindakan."

Selanjutnya sahabat terbaikku itu pergi. Meninggalkan aku sendiri yang terduduk diam. Merenungi segala pikiran yang kini mulai merambat menyesak di dalam hati.

EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang