D U A B E L A S

46 7 6
                                    

"Senakal-Nakalnya Gue, Nggak Bakalan Bisa Hidup Tenang Kalau Nggak Ada Bunda."

********

Jatuh cinta itu sama hal seperti kita mengkonsumsi obat. Jika pas takarannya pasti akan terasa khasiatnya. Namun, jika terlalu berlebihan, sebuah rasa yang bernama sakit tanpa segan menyergab tubuh kita. Lalu, menjadikan kita sebagai manusia lemah yang selalu bertaruh di bawah naungan cinta.

Dulu, Mama pernah bercerita, jika dirinya dan Papa adalah dua orang yang sama sekali sudah tidak percaya akan adanya cinta di dunia ini. Saat mereka berkerja pada satu perusahaan yang sama, nyatanya semesta menghendaki. Mama dan Papa yang anti cinta, menjadi dua orang yang saling mencintai satu sama lain.

Mama yang mengurus kehidupan Papa dan Papa yang melindungi dan memimpin Mama dari segala apapun. Begitu kata Mama, caranya mereka saling mencintai.

Tidak luput, setiap malam aku selalu berdoa. Agar kelak, Tuhan mengirimkan sesosok laki-laki yang siap kujadikan Imam untuk menyempurnakan agamaku. Aku meminta bukan dalam jangkauan dekat-dekat ini. Tapi nanti, saat aku sudah siap untuk menjadi wanita sesungguhnya.

Dan pada saat aku melihat Esok. Doa-doaku itu silih berganti. Ada setitik harapan dalam doaku yang selalu merapal nama Esok di dalamnya. Tuhan, saat ini yang aku inginkan Esok. Cowok dengan segala tingkah lakunya yang berhasil membuat seorang Lusa merasakan apa itu namanya cinta.

Sadarku titik-titik doa itu kini mulai menyatu, menjadi sebuah kesatuan yang akan datang bernama pecapaian juga keberuntungan. Mengingat entah sudah kali keberapanya aku terjebak bersama Esok tanpa pernah aku bayangkan sebelumnya.

Mataku memandang seseorang di depanku. Esok sedang serius menyuapi sesendok nasi padang ke mulutnya. Alis Esok terangkat, matanya menatapku, seperti menanyakan sesuatu yang kubalas dengan gelengan kepala.

"Kemarin lo ngasih lope ke gue ya Lus?" tanya Esok.

Dahiku mengernyit. "Kapan?"

"Yang di DM."

"Itu kepencet. Sori," ringisku malu.

Kepala Esok mengangguk. Cowok itu kembali menikmati nasi Padangnya sebagai menu makan sore ala Esok. Sementara aku, diam-diam memperhatikan Esok. Darimananya aku bisa terjerat akan pesona cowok di depanku ini. Dengan Aran? Masih lebih tampan Aran, yang membuat Luna sampai-sampai membenci Aran karena wajahnya yang terlalu mempesona.

Sifat? Aku tidak tahu bagaimana sifat cowok yang hampir enam bulan ini kupuja. Aku tidak berniat bertanya ke sana ke mari bagaimana sifat Esok itu. Karena aku ingin, agar aku saja yang perlahan-lahan mengetahui dan memahami sifat Esok dengan caraku sendiri.

Satu porsi Takoyaki rasa keju di hadapanku tidak begitu enak dibanding dengan wajah puas dari seorang Esok. Kali ini, senyum cowok itu hadir setelah menegak habis es teh manis miliknya.

"Lo mau pulang atau mau gue anter ke mana gitu?"

"Ke rumah aja. Gue capek."

"Padahal kita baru sehari ngebersihin ya, itu juga masih males-malesan. Gimana OB sekolah yang kudu tiap hari ngeberesin Bina Bangsa?"

Aku tertawa kecil mendengar pendapatnya itu. "Risiko pekerjaan. Selagi halal kenapa nggak dilakuin aja."

"Emang sih. Ya udah yuk pulang, keburu kesorean nanti."

Akhirnya kami keluar dari warung nasi Padang. Esok menunggangi motor hitamnya. Semenit kemudian motor Esok ikut berpartisipasi dengan kendaraan lainnya, membelah jalanan kota Jakarta di sore yang sedang mendung ini.

Yeah, sudah kali ketiga aku menaiki motor Esok. Nyatanya, semakin aku berdekatan dengan bau parfum Esok jedag-jedug norak semakin kencang saja. Aku berdoa dalam hati. Semoga Esok nggak menangkap suara dari jantungku yang berdegub kencang karenanya.

"Lus?"

"Apa?" aku memiringkan kepalaku ke arah kiri. Menatap kaca spion yang ternyata Esok sesekali melirikku juga.

"Kartun Pororo itu sekarang ada di chanel apa lo tau nggak?"

"Pororo yang mana?" tanyaku. Agaknya ingatanku hanya bisa mengingat-ngingat tentang Pororo sekilas.

"Yang hello friend, hello my best friend. Gitu dah lagunya."

Aku menyahan tawa. Suara Esok yang barusan menyanyikan lagu Pororo sangatlah tidak baik untuk indra pendengaran. Lebih baik cowok itu berbicara atau nyanyi dengan suara biasa saja daripada dibuat-buat seperti tadi.

"Dulu mah di antv."

"Nah, makanya. Sekarang udah nggak nongol lagi. Pusing gue nyarinya."

"Emang buat apaan?" karena aku tahu, di umur Esok yang sepertinya sudah menginjak tujuhbelas tahun itu nggak mungkin repot-repot mencari Pororo untuk dirinya sendiri.

"Adek gue," katanya. "Dia ngambek ke Bunda gara-gara Pororo ilang. Terus gue sebagai Abang yang baik disuruh Bunda nyariin si Pororo."

"Ada youtube 'kan?"

"Udah gue kasih. Tapi katanya si Bulan buffering terus. Heran gue, anak kecil alasannya banyak banget. Padahal wifi di rumah gue kenceng."

"Jadi Bulan?"

"Apanya?"

"Adek lo."

Esok mengangguk. Tanpa terasa motor Esok sudah memasuki gerbang perumahan di mana ada satu rumah milik Bapak Irawan. "Yang mana Lus?"

"Sektor Barat. Nggak jauh dari pos satpam, kok."

Motor Esok melaju perlahan-lahan, berusaha mencari letak rumahku dengan pas. Hingga mesin motornya berhenti kala sudah berada di depan rumah berwarna cokelat yang berpagar hitam menjulang tinggi.

Aku melompat turun dari tunggangan motor Esok. Membuka helm lalu mengembalikan kepada pemilik aslinya. "Makasih, Sok. Mau mampir dulu nggak?"

Kepala Esok menggeleng, lalu mengadah melihat langit Jakarta yang sedang pada masa kelam. Satu tetes air hujan jatuh mengenai tanganku. "Gerimis. Nanti gue diomelin Bunda pulang ujan-ujanan."

Sudut bibirku terangkat. Membentuk sebuah senyuman meledek. "Oalah Abangnya Bulan ini anak yang patuh sama Bunda toh."

"Senakal-nakalnya gue, nggak bakalan bisa hidup tenang kalau nggak ada Bunda. Makanya, gue lagi coba jadi anak yang baik."

"Bulan pasti suka punya Abang kayak lo." Jangankan Bulan, aku aja suka Sok, lanjutku dalam hati.

Esok menaikkan kaca helmnya. "Bulan mah suka. Kalau Kakak gue malah kena sial katanya punya Adik sejenis gue."

"Loh, ada Kakak juga?"

"Iya. Tiga bersaudara gue." Esok kembali melihat langit. "Udahan ya ngobrolnya, takut hujan beneran. Nanti motor gue mogok."

Aku hanya meng-iya-kan nggak mungkin juga motor bagus milik Esok itu bisa mogok hanya karena terkena tetesan hujan. Motor Kabisat yang bobrok aja kalau nerobos banjir masih hidup kok.

"Dah, Lusa. Hukuman kita nyambung di Senin."

Aku melambaikan tangan. Esok memberiku dua kali bunyi klakson tanda dia benar-benar pergi dari hadapanku. Esok berserta motornya semakin hilang di balik tikungan depan sana. Senyum lebar yang sedaritadi aku tahan kini hadir. Membuat sudut-sudut pipiku terasa pegal.

Jikalau begini, aku malah senang dihukum sama Pak Aryadi. Seolah semesta memberiku cara agar satu langkah lebih dekat dengan Esok. Dan beginilah caranya.

EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang