"Kita Berdua. Bukan Gue Sendiri."
Hidup itu nggak seperti FTV, di mana anak kampung sebelah bisa taken sama anak kampung musuhnya, cuma gara-gara satu kejadian yang membuat rasa benci itu terkikis, lalu berubah menjadi cinta. Hidup juga tidak semudah novel romansa yang suka dibaca Luna, di mana seorang CEO ternama bisa jatuh cinta hanya pada pandangan pertama dengan seorang gadis desa.
Tapi, jika Sang Penguasa Alam Semesta sudah berkata, maka tidak akan ada yang mengelak. Hal-hal yang tadinya sangat tidak mungkin diterima oleh nalar, bisa saja berubah, menjadi sesuatu yang berkebalikan. Kejadian yang sudah digarisi oleh Tuhan dengan nama lain takdir.
Pun aku merasakan hal itu. Sejak kejadian aku terciduk bersama Esok di ruang musik oleh Guru Piket, seolah semesta ingin bermain bersamaku. Kemarin malam, saat aku sedang sibuk memberi love di setiap new post yang muncul di home instagramku, tiba-tiba saja satu notif masuk. Mataku langsung meliriknya, ada sebuah akun yang ingin mengirim DM ke aku.
Lalu saat aku berhasil melihat permintaan DM, semburan tawa dari mulutku keluar. Merasa aneh dengan ini semua. Hallo, seorang Esok yang bahkan akun instagramnya sudah kufollow dari zaman Beng-beng harganya masih seribu dan sekarang sudah naik jadi seribu maratus, meminta sebuah follback ---yang padahal dulu aku mengharapkan itu darinya.
@BagaskaraEsok_ : Lus, acc terus follback.
Itu adalah rentetan kata dari DM Esok yang berhasil membuat jedag-jedug norak bermunculan hingga sekarang, dari yang semalam itu penuh bintang-bintang, hingga kini langit Jakarta sudah berubah menjadi kompos gas. Panas. Gerah. Apapun nama lainnya yang bisa membuat kulitku memproduksi keringat dengan berlebihan.
Aku belum menceritakan kejadian ini ke Luna. Belum siap kupingku itu terkena ledakan teriakannya yang mengalahkan toa tukang tahu bulat. Apalagi, jika nantinya Luna tahu, kalau aku dan Esok sudah sedikit lebih dekat.
Sedikit, lho.
Hanya karena kami terjebak dalam satu hukuman yang sama. Yeah, Lusa yang paling anti dengan hukuman, kini harus terima dengan lapang dada selapang-lapangnya. Hukuman membersihkan toilet selama seminggu sudah di depan mata.
Tahu 'kan betapa parahnya Bina Bangsa itu?! Padahal aku cuma bolos jam pelajaran ----itu juga karena Gurunya nggak masuk, terus melarikan diri ke ruang musik yang tahu-tahu sudah ada Esok ngedekem terlebih dahulu di sana, lalu saat aku hampir selesai melantunkan lagu yang Esok pilih, pintu ruang musik terbuka secara paksa. Muncullah sesosok Guru Piket bernama Pak Aryadi yang demennya ngider sama cek ruangan ekskul.
Tadinya, hukuman yang aku dapatkan hanyalan membersihkan toilet selama tiga hari. Tapi ... saat Pak Aryadi membuka pintu ----lebih tepatnya mendobrak, Esok terkejut. Gitar yang berada di pangkuannya jatuh ke lantai.
Nggak rusak. Serius. Tapi Pak Aryadi menganggap keterkejutan Esok itu kayak Esok yang memiliki niat terselubung untuk menghancurkan fasilitas sekolah.
Nggak nyambung 'kan? Suudzon melulu si Bapak.
"Lusaaaaaaa."
Rengekan Luna sekaligus aksi dia mencubit-cubit lenganku membuat semua lamunan tentang Pak Aryadi lenyap begitu saja.
"Apa?"
Luna memasang wajah malu saat pertanyaannya kujawab. "Gue Baper."
Aku mengangguk. Sehebat mungkin menahan agar diriku tidak mendengus ke arahnya. Bapernya Luna itu sama hal dengan jadwal makan manusia pada umumnya. Tiga hari sekali. Kadang-kadang bisa lebih. Aku heran, soal urusan hati kenapa Luna bisa semudah itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Esok
Teen FictionAku yakin, saat aku menyukainya aku tidak sedang mengalami penyakit Skizofrenia. Karena untuknya terlalu indah jika hanya dijadikan khayalan semu semata. Dia, lelaki yang aku juluki 'Si Pemberani' hanya karena membentak balik Kakak OSIS yang memang...