T U J U H B E L A S

38 4 0
                                    

Lagi-lagi langit Jakarta menumpahkan kesedihannya lewat air hujan. Untungnya pada saat rintik itu mulai berjatuhan aku sudah berada di kelas dengan anak Sebelas Dua lainnya. Ternyata, niat untuk mengerjakan PR berjamaah di sekolah ada manfaatnya juga. Di saat, mungkin, murid Bina Bangsa lainnya sedang terjebak hujan, Sebelas Dua sudah memamerkan senyum manisnya, karena tugas yang seminggu lalu diberi Guru telah selesai.

Terima kasih kepada Adi, anak ter-teladan di Sebelas Dua.

Pagi tadi diawali dengan teriakan alay milik Zaky yang kalang-kabut mencari tip ex disusul suara-suara celetukan yang membuat kesatuan Sebelas Dua semakin bertambah.

"Hujan," lirih Angga di sampingku.

Bau petichor mulai memasuki indra penciumanku. Bunyi dari rintiknya yang berjatuhan di aspal seolah menjadi aluna melodi wajib saat ini. Sejuk dari hujan membuatku merapatkan bleazer berwana pink yang sedang kukenakan.

"Lo suka hujan?"

Aku nggak pernah tahu, kalau Angga itu bisa membahas topik seperti ini.

"Biasa aja."

"Gue Pluviophile. Hujan adalah satu-satunya kejadian alam yang gue tunggu."

"Kenapa?" badanku menyamping supaya aku bisa lebih jelas ketika Angga berbicara.

"Hujan itu selalu bisa bikin gue tenang Lus. Ada kalanya saat gue ingin menangis tapi gue gengsi hanya karena cowok, saat itu hujan datang menyamarkan bulir-bulir air asin yang keluar dari mata gue. Yang gue rasa waktu itu hujan adalah teman gue, yang ikut menangisi nasib gue yang terlalu malang ini."

Aku rasa ini sudah terlalu jauh. Hampir dua tahun aku berteman dengan Angga aku nggak pernah melihat cowok itu se-melankolis seperti sekarang. Angga yang kutahu adalah cowok ter-absurd pemikirannya selain Zaky.

"Hm Angga, gue mau nanya deh."

"Tanya aja Lus. Selagi gue bisa jawab kenapa enggak?"

"Lo ... pernah, ngerasain bahwa diri lo itu sama sekali nggak sesempurna manusia yang lainnya? Lo minder gitu maksud gue."

Saat aku bertanya itu aku mengingat bagaimana sempurnanya Ola dan kecilnya diriku di mata Esok.

Angga tersenyum kecil kemudian. Pandangan matanya tidak lepas dari air hujan. "Lebih dari itu."

Nadanya sangat datar. Aku melihat Angga sedang kosong hari ini. Sisi lain yang beru aku temukan. Tatapan mata Angga ke hujan sama seperti ketika anak kecil mendapatkan mainan baru. Tetap pada objek yang dilihatnya dan tidak menghiraukan yang lain.

"Gue hidup kayaknya nggak berguna banget Lusa. Tuhan aja udah nggak mau lagi ngendenger gue apalagi ngabulin. Gue rasa gue itu manusia yang udah di black list dari surga. Mau di dunia ataupun nanti di akhirat hidup gua hanya ada di neraka. Nggak bisa lagi keluar, karena gue udah ditakdirin di sana. Gue minder Lus sama lo, sama Zaky, Luna, dan teman-teman yang lain."

Aku termangu. Ada nada kelam yang terdengar dari kalimat yang meluncur dari bibir Angga. "Jangan berburuk sangka sama Tuhan dulu, Angga."

Aku mengcopy ucapan Rigon waktu itu.

"Jangan berburuk sangka dulua my ass!" Angga tertawa sumbang. "Lusa, lo ngomong ngampang 'Angga, Tuhan itu maha adil bagi kaumnya' 'Angga, maupun seluruh bumi ini membencimu ingat Tuhan, yang akan selalu ada bersamamu' omong kosong! Gue masih percaya Tuhan, Lus! Masih! Bahkan gue selalu bersujud kepadaNya sesuai perintah agama.

"Tiap gue mengeluh Tuhan memang selalu masih bisa membuat gue tenang. Tapi Lus, ada satu masalah yang sampai sekarang nggak pernah terselesaikan. Padahal masalah itu adalah doa gue pertama kali setelah mengucap istighfar lagi doa. Gue selalu mengiba agar Tuhan menyudahi semua ini. Nyatanya? Nggak bisa! Sampai sekarang masalah itu makin meggrogoti hidup gue. Pengin mati aja kalau bisa gue!"

EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang