L I M A

55 10 4
                                    


"Dia Membuat Jarak Di Antara Aku Dengannya. Tidak Terlalu Jauh, Juga Tidak Terlalu Dekat."

********

"Kaylusa Irawan."

Sontak tangan kananku yang tadi senang menulis rumus Matematika terangkat ke atas, disusul sebuah senyuman setengah paksa aku berikan pada Guru yang sedang mengabsen serta duduk tenang di singgasananya depan sana.

"Alhamdulillah kutukan ini segera selesai."

Suara Luna membuatku terkikik. Dia itu memang orang yang paling kesal dengan pelajaran Matematika. Katanya Luna itu, untuk apa kita belajar X dikali Y jika di kehidupan nyata tidak dipergunakan.

"Lo sebegitu bencinya banget sama tuh Guru," kataku sambil kembali menyalin rumus yang telah tertulis di papan tulis.

Luna membanting pulpennya pelan. "Bukan sama Gurunya. Tapi sejak angka yang tanya 1 tambah 1 hasilnya cuma 2. Jadi tambah ribet karena kehadiran huruf-huruf macam si X dan Y. Bikin orang yang lagi mumet bertambah tau nggak?"

Aku hanya terkekeh sebentar. Biarkan saja anak satu itu masih mencak-mencak kesal mengerutuki jalan Matematika yang menurutnya nggak ada faedahnya sama sekali.

Bel ganti pelajaran mendadak membuat Luna mendesah lega. Aku juga sih. Guru Matematika itu pergi keluar kelas setelah memberi salam juga wejangan mengenenai tugas yang tadi diberinya dijadikan PR.

"Lo mau ke kantin nggak? Gue laper nih."

Luna yang tadi sedang men-scroll instagram melirikku sebentar lalu kepalanya menggeleng begitu saja. Tanpa ada memberiku balasan dengan ucapan. Aku mengangkat bahu, aku tahu Luna itu sedang meratapi kekesalannya akan Matematika, dan melampiaskannya dengan cara men-stalk akun instagram siapa pun.

Dasar kebanyakan kuota.

Kakiku baru saja ingin melangkah keluar dari bangku. Milenia sudah di mejaku, membawa satu buah buku kas kebesaran miliknya. Alamat ditagih uang kas kalau begini.

"Lusaaa, uang kas bulan ini lo masih kosong empat minggu. Dan sorry nih nggak ada kesempatan lagi untuk dicicil. Jadi mau nggak mau lo harus lunas. Hari ini juga!" penjelasan yang lebih ke pemaksaan tadi diakhiri oleh senyuman manis ala Milenia.

"Ya elah, Len. Elo mah nggak bilang-bilang, gue 'kan nggak bawa uangnya," balasku, mencoba menggerakan hati Milenia untuk diadakan rasa kahisan ke seorang Lusa.

Milenia menggeleng. "Eeet, tadi malem itu grup WA ramai Lusa, gue udah bilangin kalau bayar kas terakhir hari ini plus uda gue kasih caps lock, bold, bahkan gue italic biar mata-mata kalian yang suka siwer kalau sama kas jadi ngeliat."

Seketika aku mengingat. Bahwa dari semalam aku sama sekali nggak buka ponsel. Dikarenakan ponsel kesayanganku itu dalam keadaan mati dan aku terlalu fokus menonton film bersama Kabisat ---Abang satu-satunya yang kupunya.

Dengan menghela napas kesal terlebih dahulu, tangan kananku merogoh saku rok. Mengambil satu uang berwarna ungu yang sebenarnya jika dijajankan dapat es teh kantin lima gelas. Rela nggak rela, akhirnya aku menyeragkan uang itu membuat Milenia tersenyum lebar dan langsung menulis di kolom cicilan uang kas kata-kata 'LUNAS'.

"Gitu dong, oh ya, untuk bulan depan, besok udah dibuka anggaran cicilan kas. Jangan terlambat lagi ya Lusa."

Aku cuma mengangguk pelan. Tunggakkan seperti uang kas itu memang suka ngeselin. Padahal aku juga nggak terlalu tahu, uang kas itu digunakan untuk apa.

EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang