"Gue Nggak Bakalan Terima Jika Ada Satu Bocah Songong Yang Bahkan Nggak Ada Apa-Apanya Dibanding Gue, Nyakitin Lo."
********
Hidup di keluarga Irawan itu sebenarnya nggak selalu berjalan dengan mulus. Kalau orang lain lihat Ibu Negara dan Bapak Negara selalu menuruti permintaan aku dan Kabisat dengan segenap hati mereka, maka itu adalah opini yang sama sekali nggak bakalan berubah jadi nyata. Apapun yang ingin aku dan Kabisat dapatkan harus sebanding dengan usahaku.
Misal, aku ingin membeli sebuah ponsel baru padahal ponselku masih berfungsi dengan baik. Oke, cuma ada goresan kecil di sudut kanan atas layarnya. Aku harus ikhlas menerima ceramahan Papa yang panjangnya mengalahkan jarak orang lagi LDR, juga harus menjadi seorang pencuci piring selama satu bulan dan uang jajanku setiap hari dipotong goceng.
Yeah, hidupku seperti itu.
"Ayooo dong Kay, Kabi, senyum semangatnya manaaa?"
Suara Papa yang berjalan di depan membuatku mengukir senyum paksa. Aku melirik ke arah samping. Bagaimana seorang Kabisat berjalan dengan ogah-ogahan. Kalau lagi kayak gini aku baru sadar, Kabisat dengan aku itu memang anak yang lahir dari gen sperma dan sel telur yang sama.
"Papa lo noh, begitu banget. Heran gue," bisik Kabisat.
"Mama lo juga, ngapa begini banget ya Allah? Doa gue semalem biar bangun siang, batal gitu aja."
"Mending cuma bangun siang lo doang yang batal. Lah gue, mau kencan sama doi harus rela gagal dan si doi marah sama gue, cuma karena menuhin keinginan Papa yang mau beli kemeja."
Aku mengangguk setuju. Nggak tahu banget gimana pola pikir si Bapak Negara. Mau beli kemeja aja satu keluarganya diboyong paksa ke mall, padahal tuh aku sudah dari jauh-jauh hari mendamba waktu weekend sebagai ajang tidur larut malam dan bangun siang-siang.
Tapi GATOT! Alias gagal total. Gebrakan pintu kamarku dua jam lalu membuat dambaanku yang sangat indah itu lenyap.
"Kaaay anak Papa. Kemeja untuk Papa yang merah apa hijau ya, nak?"
Terjebak di salah satu store kemeja bersama pertanyaan Papa barusan adalah yang sedang terjadi di kehidupan sekarang. Aku menghela napas sepelan mungkin, lalu melirik Papa yang sedang sibuk memilih kemeja.
"Ijo," balasku sambil menghasilkan senyum setulus mungkin di bibir.
Dahi Papa mengerut. Tanda-tanda jika Bapak Negara itu tidak setuju dengan usul anaknya ini. Papa belanja itu sebelas duabelas dengan Mama kalau lagi belanja. Ribet pake banget. Selalu nanya masukan dari orang lain tapi giliran sudah dipilih dianya yang nggak menerima.
"Bagusan merah kali. Tadi si Mama udah pesen, nggak mau liat suaminya pake baju ijo-ijo. Aneh 'kan si Mama, katanya nanti Papa mirip ulet bulu, terus dia takut. Untung Papa sayang sama si Mama."
Apa yang aku bilang tadi tidak meleset sedikit pun 'kan?
"Ya terserah Papa. Kay mau ke Mama."
"Biarin aja si Mama sama Kabi. Kamu sama Papa aja, nanti kita belanja buat kamu yang banyak. Biarin si Kabi nggak usah dibagi. Pembangkang anak itu. Masa, ngambek sama Papa gara-gara kencannya sama Kema gagal. Haduuh, polemik anak muda tuh ribet. Jaman Papa dulu kalau kencan gagal nggak ada tuh misuh-misuh kesel kayak si Kabi. Harusnya, sesama pasangan itu saling mengerti dan memahami."
Menganggukkan kepala seolah aku mencerna ucapan Papa adalah yang kulakukan. Daripada nantinya aku cuma diam dan si Papa balik ngambek ke aku. Maka dapat dipastikan, ajakan Papa yang tadinya ingin beliin aku baju, bisa gagal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Esok
Novela JuvenilAku yakin, saat aku menyukainya aku tidak sedang mengalami penyakit Skizofrenia. Karena untuknya terlalu indah jika hanya dijadikan khayalan semu semata. Dia, lelaki yang aku juluki 'Si Pemberani' hanya karena membentak balik Kakak OSIS yang memang...